Tuesday, March 28, 2017

Surat Terakhir

                Seperti biasa di sore itu hujan tak pernah urung untuk turun sejak dua bulan terakhir. Bagai jutaan duri yang menggelegar rimbun berjatuhan. Langit yang meredupkan sinarnya, dan angin semakin asik bergurau riuh merasuki dahan pepohonan yang turut gugur beterbangan. Aku terdiam, berdiri di sisi jendela kamar, berharap ia datang untuk menemuiku. Sekalipun aku sadar aku yang berkata dengan amarah agar ia tidak perlu repot-repot untuk menemui atau menghubungiku lagi. Aku mengusap air mata yang mulai berjatuhan tanpa henti, sederas pilu hujan yang turun. Dalam hati aku menyalahi diriku sendiri. Aku hanya ingin dia tetap datang menemuiku tanpa mengindahkan amarah dengan kata-kata emosiku. Aku terdiam, di tangan kananku aku masih memegang ponsel yang setiap menit aku pandangi, berharap ia menghubungi atau bahkan hanya sekedar mengirimkan pesan.
“Please, hubungi aku Gas..” Gumamku sambil mengusap kembali air mata yang makin tak mampu menahan perihnya hati. Akan menyukakan hatiku sekalipun pesan itu berupa kata maaf darinya. Namun, harapku menjadi pupus ketika hingga keesokan paginya tidak ada satupun kabar dari dia sekalipun melalui mimpi. Dengan ego yang meradang, aku menahan rasa rinduku, juga rasa perih karena penyesalan dan kecewa yang datangnya bersamaan, hari demi hari. 
            Aku mulai hari Senin itu dengan profesionalitas kerja yang menuntutku untuk tetap stabil dalam kondisi apapun. Udara yang cerah tidak mampu memperbaiki suasana hatiku. Aku lebih banyak diam, melamun tentang masalah drama percintaan yang tengah aku hadapi. Sesekali Leader ku bertanya dan aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Seperti biasa, dia selalu cukup cerdas untuk mengetahui masalahku yang membuatku tidak bisa menahan diri untuk bercerita.
“Mba, gue harus gimana mba..? Bagas sampai sekarang belum juga menghubungi gue.” Ceritaku mengawali.
“Terus, lu juga ga coba hubungin dia hah?” Tanya Mba Ratih dengan mengerutkan dahi.
“Yah ga mungkinlah mba gue yang hubungin dia, kayak jilat ludah gue sendiri dong.. Kalau gue yang salah, gue pasti hubungin dia duluan untuk minta maaf, tapi ini kan dia yang salah mba..”
“Emang masalahnya apa sih sampai lu tuh marah sebegitunya sama Bagas, Rey?”
“Dia janji jemput gue di Halte Karet jam 7 pas malam minggu kemarin mba, tapi sampai jam 10 gue tungguin dia ga dateng juga. Bahkan untuk sekedar bilang maaf di telpon aja dan kasih tahu alasan dia telat jemput aja ngga tuh mba.”
“Lah kok gitu? Terus gimana, lu nunggu dia sampai jam berapa di halte? Gila itu kan horror banget cewek malem-malem nunggu sendirian di halte Rey..”
“Nah itu dia mba. Tapi dia akhirnya nyampe juga tuh mba pas jam 10:45. Langsung aja tanpa basa-basi gue pergi tinggalin dia dan nyuruh dia untuk ngga usah nemuin gue lagi dan ngga perlu lagi hubungin gue dengan cara apapun.” Penjelasanku membuat Mba Ratih menggenggam tanganku pelan.
“Ya ampun.. Lu pergi gitu aja tanpa minta penjelasan dari dia, Rey?”
“Sekarang coba lu ada diposisi gue mba, lu nunggu hampir 3 jam di halte malam-malam sendirian tanpa kabar dari dia, sementara lu sudah berkali-kali hubungin dia tapi ngga ada satupun ditanggapi sama dia? Kalau dia alasan ngga punya pulsa, harusnya dia angkat dong mba telpon gue itu, ya kan?! Tapi ini sama sekali ngga ada, bahkan dia coba jelasin ke gue aja ngga tuh mba, sampai sekarang ngga ada usaha dari dia untuk kasih penjelasan ke gue. Apa itu yang namanya dia cinta sama gue mba setelah 3 tahun gue pacaran sama dia, rasa-rasanya seakan ngga ada alasan yang cukup berarti bagi dia untuk mempertahankan cinta kami. 3 hari ini gue masih nungu kabar dari dia mba, tapi hasilnya nihil!”
“Iya sih Rey.. Gue ngerti. Sekarang mending lu kasih waktu dulu untuk sementara buat hubungan kalian. Tunggu sampai 1 minggu ini, kalau sampai ngga ada kabar juga dari Bagas, saran gue sih mending lu tanya langsung sama dia tentang kelanjutan hubungan kalian biar ngga ngegantung dan berlarut-larut.”
“Oke mba.. Tapi entah kenapa gue rasa sakit banget hati gue mba..?”
“Iya wajar sih, mengingat kondisinya seperti ini. Tapi kalau Bagas serius sama lu, dia pasti hubungin lu lagi kok gue yakin.”
“Amin. Iya mba mudah-mudahan aja ya..”
            Seminggu berlalu namun tidak juga ada kabar dari Bagas di ponselku. Akhirnya dengan keberanian penuh, aku mencoba menghubunginya. Namun pahitnya, tidak ada satupun respon jawaban dari dia. Aku coba untuk mengirimkan pesan menanyakan dia di mana, tapi hasilnya masih tetap nihil. Terpaksa aku coba hubungi kantor tempat dia kerja, setelah beberapa kali, operator tersebut selalu memberikan jawaban yang sama bahwa Bagas sedang tidak ada di kantor. Semakin putus asa bercampur emosi yang tak tertahankan, akhirnya aku menemui Bagas dikantornya. Untungnya aku mengenal semua teman-teman kantor Bagas, karena Bagas kerap kali mengajak aku ke kantornya. Dengan tatapan dingin Bagas menatapku dan langsung mengalihkan pandangannya pada komputer yang ada didepannya. Kesal, akhirnya aku minta Mas Nunus untuk menyampaikan pesan bahwa aku ingin bertemu dengan Bagas.
“Maaf ya Rey, Bagas katanya sedang sibuk, kamu bisa tunggu dia pulang kantor di ruang tamu ya.” Jawab Mas Nunus.
            Sudut-sudut ruangan itu terasa bisu tanpa kehidupan. Tidak ada lagi suara orang yang mengobrol ataupun berlalu lalang untuk pulang. Nyala lampunya saja malah semakin menambah kepekaan sepi. Jam menunjukkan pukul 19:30 tapi Bagas tak juga kunjung menemuiku. Entah apa yang dikerjakan Bagas beserta timnya di ruangan produksi. Tiba-tiba Mas Nunus dan Mas Said datang menghampiriku untuk pamit pulang terlebih dahulu, meninggalkan Bagas sendiri di ruangannya. Akhirnya aku putuskan untuk langsung menemuinya ke dalam ruangan kerjanya. Aku melihat Bagas masih sibuk di depan komputer meja kerjanya.
“Bagas, aku mau ngomong!”
“Ngapain kamu disini, bukannya kamu yang bilang kita ngga usah ketemu?” Jawaban Bagas yang terlihat santai makin menambah kecewa dan kekesalanku.
“Jahat kamu ya.. Terus kamu mau kita putus gitu aja hah??”
“Bukan mau aku kita putus, tapi ini semua kemauan kamu. Berkali-kali kamu minta putus, harusnya kamu seneng dong akhirnya aku kabulkan permintaan putus kamu itu.” Bagas masih saja fokus dengan komputernya dan menyahutku tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Rasa sakit yang tiada tara mulai menekan jantungku hingga sulit rasanya untuk bernafas. Aku terdiam, berusaha menguatkan hati dan mengatur suara agar tetap stabil.
“What?? Setelah 3 tahun kita pacaran, bahkan kamu janji buat nikahin aku, sekarang kamu semudah itu ngelepas aku begitu aja, Gas?”
Bagas melihat ke arahku, untuk pertama kalinya rasanya ingin aku tampar wajah itu. Wajah yang selalu menenangkan bathinku setiap kali aku ditekan masalah. Tapi saat itu, aku melihat wajah laki-laki paling berengsek yang pernah aku kenal.
“Sayang denger aku, kita udahan aja, kita putus..”
“Bisa-bisanya kamu bilang sayang disaat kamu mutusin aku Gas.. Dimana hati kamu?”
“Aku mau kita jalan masing-masing. Maaf aku ngga bisa jadi cowok yang sempurna buat kamu, ngga bisa jadi yang kamu mau.”
“Aku cuma nunggu kata maaf dari kamu karena kamu sudah buat aku nunggu selama 3 jam di halte sendiri tanpa kabar, tapi yang aku dapat cuma kata-kata putus dari kamu. Aku benar-benar ngga nyangka kamu sehebat ini nyakitin hati aku Gas..”
Aku tidak mampu menahan tangis yang keluar begitu saja. Dalam hati, aku menyadari kebodohanku yang seakan sedang mengemis cinta seorang laki-laki yang nyatanya sudah tidak ingin bersamaku. Aku dekati  Bagas yang wajahnya mulai tertunduk. Aku masih bisa melihat tangannya yang bergetar, aku menggenggamnya perlahan, mencium pelupuknya untuk terakhir kali. Tanpa dapat ku tahan, air mataku jatuh ke atasnya. Bagas memalingkan wajahnya, tapi aku tetap berusaha memeluknya, sekalipun dia tak membalas pelukanku. Tubuhnya yang dulu selalu membuatku nyaman kini terasa kaku dan dingin. Akupun pergi dengan menahan perasaan luka yang tidak terkatakan. Dalam hati aku masih berharap Bagas berlari ke arahku untuk memelukku kembali dan menyampaikan maafnya, maka aku akan dengan ringan hati memaafkannya. Tapi kenyataannya tidak. Bagas tidak pernah jadi bagian hidupku lagi setelah kejadian itu.
Dengan kesedihan yang mendalam, akhirnya aku memutuskan untuk pindah kerja dan pindah kost. Mencoba menghapus banyaknya kenangan yang terlalui bersama Bagas. Di sepanjang jalan, lokasi dimana dia biasa antar dan jemput aku kerja, tempat kami biasa makan dan bercerita tentang keluh kesah keluarga ataupun pekerjaan, semuanya serasa hidup, serasa memunculkan slide demi slide kisah kami berdua yang terlalu sulit untuk dilupakan. Aku menonaktifkan semua akun media sosialku, menghapus kontak-kontak yang berhubungan dengan Bagas, bahkan aku membuang semua barang pemberian Bagas.
Dua tahun berlalu, tiba-tiba aku mendapat pesan dari seorang teman kerja Bagas yang menanyakan kabarku. Apakah aku sudah menikah, punya anak, dan masih banyak pertanyaan lain yang dia ajukan. Sempat terlintas di benakku bahwa orang tersebut adalah orang suruhan Bagas ataupun  Bagas sendiri yang mengirimkan pesan. Tapi terbantahkan saat aku mengetahui dia adalah Mba Nur, teman kerja Bagas yang selalu mendukung hubungan kami berdua untuk segera menikah. Mba Nur mengajak aku untuk makan malam bersama di salah satu mall di Jakarta. Dengan senang hati aku mengiyakan, karena akupun sangat rindu dengan sosok yang sudah aku anggap seperti kakak ku sendiri itu.
Hari yang ditentukanpun tiba. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Mba Nur. Mba Nur yang terlihat masih selalu muda dengan tampilan hijabnya yang menawan membuat aku langsung mengenalinya. Sepanjang obrolan ceria kami, tidak ada satupun mengungkit sebuah nama yang memang aku harapkan tidak akan pernah keluar dari ucapan Mba Nur. Tetapi aku salah, aku dikagetkan dengan suara Mba Nur yang tiba-tiba saja bernada parau dan sedikit ragu.
“Hmm.. Rey, kamu ngga mau tahu tentang kabar Bagas?” Tanya Mba Nur tiba-tiba yang pastinya menghernyakkan tawaku.
“Ngga mba.. Aku sudah ngga mau dengar apa-apa tentang dia.” Jawabku singkat sambil tertunduk.
“Kenapa? Kamu sudah punya pengganti Bagas ya?”
“Oh ngga kok mba. Aku memang sudah ngga mau dengar kabar tentang dia, bahkan kalau bisa ngga perlu dengar nama dia mba.”
“Oh begitu.. Maaf ya sayang aku jadi ungkit nama itu lagi.”
“Iya ngga apa-apa mba.”
“Tapi terus terang aku ada titipan surat untuk kamu.”
“Dari siapa mba?”
“Dari Bagas.”
“Haha.. Mba ini ada-ada aja ngapain juga dia kasih surat untuk aku? Mba buang aja surat itu, aku sudah ngga perlu lagi. Aku sudah move on dari dia mba, aku sudah ikhlas dan aku sudah ngga mau tahu tentang apapapun mengenai dia.”
“Tapi, Rey..”
Please mba, aku mohon buang aja surat itu. Aku sudah ngga mau berurusan sama..”
“Bagas sudah meninggal Rey..” Suara parau Mba Nur yang bergetar yang langsung memotong ucapanku terdengar melambat seakan memerihkan kembali hatiku yang sudah susah payah aku rajut kembali kepingan retakannya.
“Hah?? Meninggal mba..?”
“Bagas sudah meninggal satu minggu yang lalu. Dia di vonis terkena kanker otak stadium empat sejak dua tahun yang lalu.”
“Dua tahun yang lalu..?”
“Ya, dua tahun yang lalu. Dia hanya menceritakan itu pada teman dekatnya termasuk mba. Bahkan keluarga ngga satupun yang tahu tentang penyakitnya. Dia sembunyikan semua dari kamu, agar kamu bisa menjalani hidup kamu, begitu yang dia bilang sama mba.”
“Ta, tapi.. Mba bohong kan, ini ngga mungkin kan mba? Mba jangan bercanda deh, aku lagi ngga ingin bercanda loh mba, ini keterlaluan..”
“Ngga sayang, mba benar-benar serius. Sebenarnya, di hari Bagas mau jemput kamu, dia sedang di rumah sakit mengeluhkan vertigo yang dideritanya. Mba sendiri dan Mas Nunus yang mengantarnya ke rumah sakit, jadi kami adalah orang pertama yang tahu mengenai penyakit Bagas. Bagas meminta kami untuk merahasiakan semua itu dari keluarga dan khususnya kamu Rey..”
“Vertigo? Aku tahu Bagas sering mengeluhkan sakit di kepalanya, tapi setiap aku tanya dia hanya menjawab itu hal biasa karena kecapean seharian di depan komputer, dia selalu bilang kondisinya langsung membaik setelah meminum obat warung. Aku ngga pernah tahu kalau Bagas begitu menderita mba, kenapa dia ngga pernah cerita sama aku mba, kenapa..??”
“Yah itulah Rey, setiap dia mulai merasa sakit dia berusaha menyembunyikannya di depan kamu, lalu bergegas untuk pulang. Padahal saat itu dia menginap dan tinggal di kantor untuk menyembunyikan sakitnya dari keluarganya. Dia ngga bisa berbuat apa-apa Rey, yang dia tahu, dia hanya ngga mau buat kamu sedih.”
“Mba.. Aku.. Aku..” Aku tidak bisa menahan air mata yang makin membanjiri wajahku, Mba Nur dengan iba langsung memelukku erat. Hatiku benar-benar hancur untuk kedua kalinya. Aku masih tidak percaya, rasa kecewa dan kesedihan yang teramat sangat menekan hatiku begitu hebatnya.
“Maafin mba ya sayang.. Mba ngga kasih tahu kamu lebih awal karena mba sudah kepalang janji sama almarhum, mba ngga bisa berbuat apa-apa. Mba sudah bilang Bagas bahwa dengan kasih sayang kamu, pasti bisa mendorong dia untuk cepat pulih. Tapi Bagas ngga pernah mau membawa kamu ikut dalam penderitaannya. Satu hal yang perlu kamu tahu Rey, Bagas selalu mencintai kamu.. Itu yang mba pastikan kamu harus tahu itu ya sayang..” Ucapan Mba Nur yang membuat isakku semakin tak tertahankan turut membuat Mba Nur tidak dapat menahan air matanya karena tidak tega melihat kesedihanku yang begitu dalam.
Setibanya di rumah, aku masih menitikkan air mata yang perih. Begitu dalamnya hingga aku tak sanggup untuk membuka surat dari Bagas. Aku membaringkan tubuhku, meremas hatiku yang terasa semakin sakit, aku hanya bisa berucap meminta kekuatan dari Tuhan. Perlahan ku buka surat itu, dan hatiku semakin sakit dan hancur. Serasa dunia ini begitu berat membebani ragaku, seakan kebahagiaan sudah mati rasa untuk menghampiriku. Oh Tuhan tolonglah aku. Berilah aku kekuatan..
  

“Teruntuk sayangku,

Hallo sayang.. Bagaimana kabar kamu di sana? Sudah dua tahun aku ngga bisa nemuin kabar kamu, rupanya kamu sudah menonaktifkan semua akun media sosialmu. Padahal, cuma itu obat dari rasa rinduku agar aku masih bisa menikmati senyum manis kamu. Tapi aku harap kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja. Maaf aku sudah tidak bisa menjaga kamu belakangan ini. Maaf aku sudah membuat kamu menunggu lama di halte. Maaf ya sayang, aku menyembunyikan semua ini dari kamu. Maaf, karena aku telah membuatmu menderita. Percayalah sayang, aku jauh lebih menderita melihat kamu menderita karena aku. Dan maaf aku tidak bisa memeluk kamu lagi bahkan saat kamu menangis dipertemuan terakhir kita aku tidak membalas pelukanmu, sekalipun aku sangat ingin melakukannya. Maaf juga sayang, bidadari hatiku, karena aku tidak mengundang kamu di hari peristirahatan terakhirku..
Sayang.. Aku benar-benar tersiksa hidup tanpa kamu. Kehilangan kamu jauh lebih menyiksaku ketimbang penyakit ini. Kekasih hatiku yang selalu aku rindukan untuk aku peluk. Tapi sayang, aku cuma mau kamu menjalani hari-hari kamu mulai detik ini dan seterusnya untuk tetap bahagia meskipun tanpa aku. Itu permohonan terakhirku, sayang.. Berbahagialah demi aku.. Aku tahu dengan pasti, hati kamu masihlah untuk aku, karena akupun demikian. Tapi akan lebih membahagiakanku jika kamu bisa bahagia dengan duniamu yang baru. Doaku dari sini, namun hatiku tidak pernah jauh dari kamu sayang, selamanya.. I love you, as always.

Hatiku hancur bagaikan kepingan kaca yang tidak akan pernah bisa utuh lagi. Takdir yang hanya bisa menyiksaku tanpa memberiku kesempatan untuk mengamini bahagia. Entah berapa lama waktunya, aku bisa menerima kenyataan pahit yang mendukakan pikiranku siang dan malam? Kepergian kekasih hatiku rasa-rasanya mematikan inginku untuk mencintai lagi. Entah apa aku bisa, merasai cinta yang melebihi apa yang dia beri untukku. Karena bagiku dia adalah kesempurnaan yang sempurna yang pernah dititipkan Tuhan untukku..

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...