Sunday, July 12, 2015

....

     Sebagai anak yang dibesarkan dikeluarga yang biasa - biasa saja, tidak jarang aku sering mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan kesulitan ekonomi makin berasa saat aku masuk SMA. Salah satu sekolah negeri unggulan di Bekasi. Demi mencari uang saku dan keperluan ekskulku, tanpa sepengetahuan keluarga dan teman - teman aku bekerja dengan menyebarkan brosur di perumahan bahkan di mal - mal yang dekat dengan sekolahku. Setiap membagikan brosur, aku cuma berharap tidak akan bertemu dengan siapapun yang aku kenal.

         Aku menyimpan banyak impian seperti gadis remaja pada umumnya. Satu - satunya orang yang mendukungku di sekolah hanyalah pembina ekskulku. Sebut saja beliau Bp Sayoga. Hingga aku mendapat sebuah kabar baik bahwa aku diterima di salah satu PTN di Sulawesi, meski aku gagal masuk IPB seperti yg Pak Yoga harapkan. Aku membawa pulang amplop itu dengan sukacita. Tapi kenyataan tidak semanis yang aku bayangkan. Beberapa lama kemudian, aku melihat mama menangis dan bercerita bahwa seorang rentenir datang ke rumah dan memaki mamaku didepan semua orang. Rupanya gaji papaku benar - benar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

    Hatiku hancur.. Aku marah pada mamaku, amarah yang melukai hatiku sendiri. Aku mengumpulkan semua kekuatan yang aku punya, diusia mudaku aku menghadapi sang rentenir. Aku marah dan tidak akan melupakan penghinaan ini pada mamaku dan berjanji akan melunasi semua hutang - hutang mama yang jumlahnya tidaklah sedikit. Aku membakar amplop itu seraya membakar mimpiku sendiri. Aku harus kerja dan cari uang untuk melunasi hutang - hutang mama. Selama melamar pekerjaan, aku sering kali kena tipu. Tapi aku tidak boleh menyerah. Hingga seorang teman memberiku informasi lowongan pekerjaan disebuah perusahaan sekuritas. Aku bersyukur aku masuk tiga orang yang lulus training dan diterima bekerja padahal aku satu - satunya yang berlatar belakang lulusan SMA. Manajer aku, Mas Ridwan bilang cuma satu alasan yang membuat aku lulus, yaitu aku punya keberanian yang tidak dimiliki sepuluh calon karyawan lainnya.

         Kehidupan baruku dimulai. Sekalipun aku karyawan baru, tidak sulit bagiku untuk akrab dengan para senior dan atasan. Aku menyenangi pekerjaanku. Aku bertemu dengan banyak orang - orang cerdas dan berduit banyak. Wajar saja, mereka tidak main - main menaruh uang yang sangat banyak untuk bermain saham. Namun tidak sedikit diantara mereka yang menganggap bermain saham itu adalah judi. Ternyata cari uang itu gampang pikirku saat itu. Hanya dalam waktu enam bulan aku sudah mampu melunasi hutang - hutang mama beserta bunganya. Aku makin menyenangi pekerjaanku, aku punya banyak teman yang tidak menganggapku saingannya. Dan setiap hari Jumat adalah hari yang paling aku tunggu - tunggu karena selain bekerja setengah hari, hari itu adalah waktu dimana aku dan teman - teman melupakan stress dan jenuh dengan mencari hiburan ke diskotik yang satu tower dengan kantorku. Sekalipun ada banyak godaan, tapi aku selalu mengisi 'bekal'ku penuh sebelum ke tempat itu. Syukurlah teman - teman menghargai prinsipku.

         Akan tetapi, rupanya kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Hari itu aku bahagia luar biasa karena telah berhasil buat janji dengan seorang bos besar. Dengan penuh percaya diri aku membawa semua kelengkapan presentasi mendatangi kantor bos besar itu. Saking semangatnya aku tidak sadar sudah menunggu hampir dua jam diruangan itu. Sang bos kakap bertubuh tambun itu akhirnya punya waktu untuk menemuiku. Wajahnya sangat serius, tidak tersenyum sedikitpun melihatku. Aku tersenyum semanis mungkin untuk menutupi rasa takut yang tiba - tiba muncul saat itu. Dia menanyakan apa yang bisa aku tawarkan yang dapat membuat dia tertarik. Saat aku mulai bicara, tiba - tiba dia memotong kalimatku. Sang bos kakap itu melecehkanku, dia malah menawar harga keperawananku dan sanggup membayar berapapun yang aku minta. Aku sakit hati dan bergegas merapihkan berkasku untuk bis akeluar dari ruangan itu, tp dia menarik bajuku hingga lengan bajuku robek. Aku marah dengan nada berteriak tapi sia - sia karena ruangan itu kedap suara. Dia makin kencang memegang tanganku, rasa sakitnya msh aku ingat hingga sekarang. 

"Kamu jangan naif, saya ketemu banyak wanita seperti kamu dan hal ini sudah biasa, bukan?". Aku mau nangis rasanya, yang keluar dari mulutku saat itu :

"Saya ini punya Tuhan pak, saya punya orangtua yang mendoakan saya dirumah, sebelum bertemu bapakpun saya berdoa agar Tuhan memberkati presentasi saya dan memberkati bapak.."

       Sang bos besar hanya terdiam lalu melepaskanku. Aku berlari sekencang mungkin keluar dari gedung itu, hatiku sakit, aku benar - benar takut rasa takut yang luar biasa.. Keluguanku runtuh seketika, betapa kejamnya dunia ini membentukku. Esok paginya aku mengundurkan diri dari pekerjaanku. Meski Mas Ridwan dan Mas Nunus asmenku menolak surat pengunduran diriku, mereka hanya menyuruh aku istirahat beberapa minggu tapi aku tetap tidak kembali. Aku menyimpan trauma itu sendirian, aku tidak pernah bicara tentang masalahku pada orangtuaku atau siapapun karena aku tidak pernah mau membagi masalahku dengan org lain. Aku berbohong dengan bilang pada orangtuaku bahwa kontrak kerjaku habis, orangtuaku percaya saja. Mereka tidak pernah mau mengkontrol hidupku karena mereka tahu apapun yang aku lakukan pastilah hal yang benar.

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...