Tuesday, January 24, 2017

Cerita Di Menit Kelima

            Aku berdiri ditengah sesaknya bus Transjakarta. Tak menyangka Hari Minggu pun akan seramai ini. Aku menghela nafas panjang dan tersenyum, mencoba menikmati penatnya hari-hari yang bersinggah menggerayangiku tanpa bosan. Aku dengan pikiranku yang berkecamuk tanpa henti, seakan dia tanpa lelah bekerja 24 jam dalam sehari. Aku melihat sekelilingku, wajah-wajah yang pastinya penuh dengan pikirannya masing-masing. Yah, aku tidak sendiri.. Aku tahu mereka menyimpan masalah mereka sendiri dalam pikiran mereka. Aku melirik ke arah ibu yang duduk didepanku. Usianya sekitar 46an tahun, sesekali dia memandangku. Aku menebak mungkin dia sedang memikirkan bagaimana ia dapat berperan sebagai ibu yang baik untuk anak-anaknya, mengkhawatirkan apakah anak-anaknya itu akan tumbuh menjadi orang yang sesuai dengan harapannya agar tidak menyusahkan kelak mereka dewasa. Tak berapa lama pandanganku beralih pada sosok wanita muda yang berdiri tepat disebelah kiriku. Pandangannya tidak pernah lepas dari handphone ditangannya sambil sesekali tertawa kecil. Sepertinya ia sedang jatuh cinta, atau sedang masa ‘PDKT’ alias pendekatan. Hahaha.. Mungkin saja..
            Aku melihat jalanan yang cukup ramai, melihat diluar banyak pengendara bermotor yang saling salib menyalib berusaha mencari celah agar ada diposisi lebih dulu dari yang lain. Hidup dalam hal apapun sudah terbiasa dengan kompetisi, tidak diragukan bahwa makhluk hidup memang memiliki kodrat untuk saling berkompetisi. seperti halnya kendaraan bermotor tersebut. Aku tertegun melihat satu pengendara motor yang terlihat sangat hati-hati berkendara. Wajahnya pucat pasi dengan kulit yang hitam legam. Hatiku tergerak menjadi iba melihat wajah rapuh itu. Wajahnya terlihat dipenuhi kecemasan dan keletihan. Tiba-tiba saja aku ingat wajah mama dan papaku. Mama yang sedari aku kecil berdagang dipasar untuk membantu ekonomi keluarga, sampai lelahnya membuat dia harus keguguran. Papa, yang bahkan harus berangkat subuh dan pulang hingga subuh. Kadang papa cerita betapa sulitnya mencari penumpang, karena sudah mulai banyak pengendara taksi di Jakarta tapi papa harus tetap mengejar setoran dan menahan sakit didada karena terlalu lama kena AC dan angin malam. Dan alangkah berkahnya jika Tuhan memberi sedikit rejeki sisa dari uang setoran untuk menafkahi kami. Dalam benakku aku menyimpan rasa syukur yang besar karena akhirnya pada dan mama tidak perlu lagi bekerja diluaran, karena sudah ada warung kecil-kecilan yang diusahakan orangtuaku untuk menghidupi keperluan mereka sehari-hari.

            Aku terdiam, seraya bersyukur aku tersenyum, bergumam dalam hati berterima kasih akan kebaikan Sang Pencipta hidup. Tiba-tiba saja mentari meredup termakan senja, awan menggantung ranum berganti kelabu. Rupanya semesta sore itu hendak mengundang hujan. Ingatanku menerawang mendadak menggalau. Kembali ku arahkan pandanganku ke sisi luar jalan, berusaha mengusir bayangan masa lalu. Tak disangka bertepatan aku menemukan sosok pengendara motor yang merupakan bagian dari masa lalu itu sendiri. Tidak salah lagi, derasnya hujan dan dengan wajah yang hampir seluruhnya tertutupi mantel hujan, aku masih bisa mengenali wajahnya. Seseorang yang bayangannya saja mampu menyita semua perasaanku. Seseorang yang tidak pernah berhenti merasuki dinding kalbuku. Entah takdir macam apa yang mengijinkan aku bertemu dengannya lagi. Mungkin dia tersadar juga, orang itu melihat pula ke arahku dan membuka kaca helmnya. Lampu merah yang seperti terhenti oleh waktu membuat semuanya semakin jelas dan lama aku bertatapan dengannya setelah sekian lama, kurang lebih enam tahun lamanya kami terpisah. Dia masih laki-laki yang sama. Dengan senyumnya yang terlihat dipaksakan dia melambaikan tangannya. Entah itu perasaan rindu ataukah hancur seperti yang aku rasakan, yang jelas kami tidak akan pernah ditakdirkan untuk bersama. Diwaktu 5 menit ini, aku begitu merindukannya, aku ingin memeluknya, tapi itu tidak akan pernah terjadi karena takdir tidak menginginkannya, Aku bergumam dalam hati sambil tersenyum, berbahagialah demi aku.. Semoga kisah dan takdirmu berakhir happy ending sekalipun tidak bersamaku.. 😊

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...