Safa
nama gadis kecil itu. Saat itu usianya masih menginjak 5 tahun. Sejak
lahir dia sudah menderita asma, penyakit bawaan sang kakek dari garis mamanya.
Saat sore hari itu, dia berdiri dibalik jendela rumah, hanya memandang dari
kejauhan keceriaan kakak dan abangnya yang asik bermain bersama teman-temannya.
Dia menangis merengek pada mamanya untuk diijinkan main diluar. Tapi seperti
biasa, tidak pernah ada kata ‘iya’ dari sang mama. Dia menangis dan terus
menangis. Sementara Heiley, anjing kecilnya hanya duduk mengusap-usap kaki
Safa, berusaha menenangkan hati Safa dari kesedihan. Safa kecil memeluk anjing
kesayangannya itu menahan senggukan, namun airmatanya tetap saja turun hingga berjatuh
pada bulu Heiley. Heiley yang seakan turut merasakan kesedihan Safa-pun kembali
mengusap-usap sambil meraung pelan. Mungkin hanya Tuhan, Safa dan Heiley yang
tahu seberapa besar menyedihkannya saat-saat itu.
Malam tiba dengan tergegas lalu,
membaurkan keheningan bagai irama bersahutan. Mungkin ia berusaha untuk membuat
hari itu berlalu dengan cepat sehingga Safa kecil tidak perlu merasakan
kesedihan terlalu lama karena dengan datangnya sang malam, kakak dan abangnya
akan menemaninya dirumah. Hingga ia tidak perlu merasakan kepedihan yang
menyengat, menguasai hati dan pikiran masa kecilnya. Dan, sedikit saja dia bisa
merasakan kebahagiaan indahnya memiliki kakak dan abang yang bisa menemaninya
bermain menghabiskan sisa-sisa malam. Tapi tidak, kakak dan abang-nya terlalu
sibuk untuk tugas pekerjaan rumah dari sekolah. Safa bertanya pada mama-nya
kapan ia sudah bisa masuk sekolah. “Tunggu ya nak beberapa bulan lagi kamu
genap 5 tahun, nanti baru kamu masuk TK”, jawab sang mama. Safa hanya terdiam
sambil sesekali melihat ke arah pintu rumah berharap papa-nya segera pulang.
Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada sang papa. Ada banyak kekecewaan
yang ingin segera dia akhiri. Bagi Safa, hanya papa-nya lah yang bisa
memberikan jawaban itu mengingat sang mama selalu mengatakan kalimat ‘nanti
tanya papa ya’.
“Halo, mana boru papa?” Suara papa
membuat Safa bergegas berlari melompat ke arah pelukan papa-nya. Safa tahu
sekali bahwa papa-nya mencarinya. Karena dia selalu tahu bahwa ‘boru’ adalah
panggilan kesayangan papa yang dikhususkan untuknya. Sekalipun Safa memiliki kakak
perempuan yang usianya lebih tua darinya 4 tahun, tapi karena sakit yang
dideritanya membuat papa selalu mengkhawatirkan kondisi Safa yang memang butuh
perhatian khusus. Papa langsung memeluk dan mencium Safa seperti biasa dan
menanyakan bagaimana kondisi Safa hari itu dengan banyak pertanyaan.
“Kambuh
ga sakitmu tadi nak? Sudah minum obat belum? Makan banyak ga kamu tadi? Tadi
main sama Heiley ya?” Tanya papa Safa penuh kecemasan.
“Kamu
jadi beli empedu ular untuk Safa, Pa? Tanya mama yang menyusul ke arah ruang
tamu.
“Ini
papa sudah bawa ma. Kuat ga Safa ya makan beginian pahitnya minta ampun kata
teman papa yang jual.” Jawab papa. Tiba-tiba Safa memotong pembicaraan mereka
dengan kembali mengajukan pertanyaan yang sudah sedari tadi dia persiapkan untuk
papa-nya.
“Papa,
Safa mau sekolah. Kenapa sih Safa ga boleh main? Safa bosan dirumah, ga dikasih
mama main diluar sama teman-teman.” Sahut Safa sambil kembali menangis.
“Bukannya
gitu, nak.. Kata dokter kan kamu ga boleh cape, kamu nanti cape sedikit aja
langsung kambuh, nanti papa sama mama yang sedih. Kalau kamu kambuh, papa dan
mama yang menderita lihat kamu. Nanti kalau Safa sudah besar, sudah sembuh baru
nanti kita jalan-jalan ya nak.” Jawab papa sambil menitikkan air mata memeluk
Safa.
Seakan
paham dengan kalimat yang disampaikan papa-nya, Safa kecil tertunduk dalam
pangkuan merasakan kesedihan papa-nya yang begitu dalam karena penyakit yang
dideritanya. Hampir tiap malam Safa tidak bisa tidur karena harus merasakan
sesak yang mengganggu. Hingga saat waktunya tidur, seperti biasa tiap tengah
malam tiba Safa merasakan sesak yang luar biasa. Padahal hari itu dia tidak
banyak berlarian, hanya bermain dirumah bersama Heiley. Safa kecil berusaha
menahan suara sesaknya, dia berjalan ke arah gudang menuju tempat Heiley tidur
agar papa dan mamanya tidak mendengar nafas sesaknya. Tapi ternyata pintu
gudang terkunci. Safa kembali ke kamar, tertelungkup memeluk bantal sambil
berusaha menahan suara sesaknya. Papa Safa terbangun menyadari Safa yang mulai
kambuh, lalu bergegas memberinya obat dan air hangat lalu menggendong anak
kesayangannya itu. Safa mendengar papa-nya berdoa pada Tuhan dengan menangis,
kata-kata yang tidak akan pernah Safa lupakan yaitu bahwa papa-nya meminta pada
Tuhan agar mengangkat sakit anaknya itu, dan bersedia menggantikan dan menanggung
sakit itu biarlah turun pada dia tapi jangan ke anak kesayangannya. Yang paling
menyedihkan, bahkan papa-nya bersedia memilih mati asal anaknya itu bisa
sembuh. Dalam hati, Safa hanya dipenuhi dengan banyak permohonan pada Tuhan. Seringnya
dia mendengar papa dan mama-nya berdoa, membuat Safa menyadari bahwa Tuhan itu
adalah seseorang yang tidak terlihat yang memiliki kantong ajaib seperti
Doraemon yang bisa memenuhi apa saja keinginan orang yang memintanya. Dia hanya
ingat papa-nya sering memberitahu bahwa Tuhan itu ada di Surga tempat
orang-orang baik berkumpul, tapi bisa mendengar suara kita meskipun hanya dalam
hati.
Keesokan
paginya Safa terbangun lalu bergegas lari meminta mama membukakan kunci gudang,
dia sudah tidak sabar untuk bermain dengan anjing kesayangannya, Heiley. Heiley
yang juga seakan merasakan kerinduan yang sama dengan Safa, langsung
memperdengarkan gonggongannya dan langsung berlari menghampiri Safa begitu
pintu dibuka. Abang Safa dan kakaknya langsung terbangun dan bersiap untuk
berangkat ke sekolah.
“Kasih
makan dong de si Heiley-nya kasihan laper.”Seru Devon abang Safa. Safa langsung
bergegas ke arah dapur untuk membuatkan Heiley makanan, tiba-tiba Safa
mendengar kakaknya Lena sedang berbicara pada mama-nya didapur.
“Ma,
emang kata dokter ga apa-apa kalau Safa main sama Heiley, takutnya bulunya
Heiley tambah bikin dia kambuh..”
“Kan
mama sudah tanyakan sebelumnya sama dokter, kata dokter ga apa-apa. Makanya
mama nyuruh papa ambil Heiley dari rumah Om Krisna supaya bisa nemenin Safa
jadi adikmu itu ada teman buat main dirumah. Om Krisna kan anjingnya dirumahnya
banyak, jadi dia juga ga masalah kasih Heiley buat Safa.” Jawab mama.
“Oh
begitu ya ma, Lena pikir ga boleh karena takut bulunya bikin Safa batuk dan
sesak.”
“Heiley
itu anjing aku, Safa ga batuk kok tiap deket-deket sama Heiley. Heiley kan
sayang sama Safa.” Teriak Safa dengan polosnya seakan takut mama dan kakak-nya
mengembalikan Heiley pada Om Krisna.
“Iya
nak, mana tega mama jauhin kamu dari Heiley..” Ujar mama sambil nyuapin sarapan
untuk Safa.
“Papa
sudah pergi kerja ya, ma?” Tanya Safa kemudian.
“Sudah
tadi, kamu kan maih tidur papa sudah berangkat buru-buru. Nanti kita ke dokter
ya nak, obat kamu kan habis, ini kan jadwal kamu disuntik lagi.”
“Safa
ga mau disuntik, ma.. Safa juga bosen minum obat terus. Kapan sih Safa berhenti
minum obat?”
“Nanti
kan kalau kamu sudah sembuh, kamu ga perlu minum obat lagi. Biar nanti kamu
bisa masuk sekolah. Nanti kalau kamu ga minum obat dan ga mau disuntik, kata
dokter nanti kamu makin lama sembuhnya.”
“Kok
Safa lama sembuhnya sih ma.. Tuhan ga sayang ya ma sama Safa? Kakak sama abang
ga sakit, tapi Safa sakit. Safa mau main diluar ma naik sepeda kayak
teman-teman Safa..” Tiba-tiba mama Safa menangis mendengar ucapan anaknya itu,
lalu membelai rambut Safa yang tebal dan mengepangnya. Heiley yang sedang
menikmati menu makan pagi dari sahabatnya itu tiba-tiba berlari menghampiri
Safa sambil menggonggong seakan turut merasakan kepiluan yang mendalam antara
ibu dan anak tersebut.
Safa mengajak Heiley bermain
dihalaman depan rumah, namun selang berapa lama kemudian mama memintanya untuk
masuk karena mama-nya akan pergi sebentar untuk mengantar abang dan kakaknya ke
sekolah. Seperti biasa, Safa dan Heiley terkunci berdua didalam rumah, hanya
menonton dirumah sambil bercerita dengan imajinasi yang hanya dirasakan oleh
mereka berdua. Safa menikmati waktu kebersamaannya dengan Heiley, setidaknya
dia tidak perlu merasakan terkurung lagi sendirian ketika mama harus pergi
sebentar untuk mengantarkan kakak dan abangnya, atau sekedar ke warung, bahkan
saat sedang masak didapur. Safa juga tidak mau merengek ketika mama harus
meninggalkannya sendirian cukup lama. Dia tidak terlalu membebani mama dengan
rengekkannya. Diusianya yang masih sangat kecil, dia menyadari keletihan
mamanya. Kadang dia melihat mamanya menangis, bertengkar dengan papa hanya
karena papa pulang tidak membawakan uang untuk bisa belanja kebutuhan
sehari-hari, tidak jarang mama juga suka mengeluh tidak ada uang untuk beli
obat untuk Safa dan bayar uang sekolah kakak dan abang Safa yang mengharuskan
mama berhutang pada tetangga atau saudara. Safa sangat mengerti kesusahan
orangtuanya. Untuk anak seusianya, pikirannya sudah terlalu matang untuk
memahami apa yang terjadi.
Safa mengajak Heiley ikut mengajukan
permohonan pada Tuhan. Dia ingat papa dan mama-nya memejamkan mata dan melipat
tangan saat berbicara pada Tuhan. Safa pun mengajarkan Heiley untuk melipat
tangannya dan meminta Heiley untuk mengikuti doanya.
“Tuhan,
kata papa Safa Tuhan itu ada ditempat orang-orang yang baik tapi Tuhan bisa
dengar doa Safa. Tuhan, Safa ga mau lihat papa dan mama Safa sedih lagi. Boleh ga
kalau Safa tinggal sama Tuhan di Surga? Safa janji ga nakal, Safa mau jadi
orang baik. Safa sering susah nafas, rasanya sakit, papa dan mama selalu
nangis. Safa ingin tinggal di Surga saja..”. Ucap Safa dalam doanya. Disaat yang
sama, Heiley-pun mengajukan permohonan pada Tuhan.
Tengah malam itu hujan turun dengan
derasnya. Petir bersahutan meminta hujan untuk turun. Udara yang biasanya
berdamai dengan alam dalam ketenangan, seakan mengiringi kedatangan hujan ke
bumi hingga membuat berangin riuh seakan hampir membeku. Malam itu Safa tidur
nyenyak sekali. Papa dan mama Safa berjaga dari tidur khawatir dinginnya malam
membuat Safa kambuh dari sakitnya. Tapi, malam itu Safa sama sekali tidak
menunjukkan sedikitpun tanda-tanda kesulitan bernafas. Hingga subuh papa dan
mama Safa terjaga, namun anehnya Safa tidur terlihat sangat lelap tidak seperti
malam-malam biasanya.
“Ma,
Safa puji Tuhan ya ga ada tanda-tanda sesak nafasnya.”
“Iya
ya pa, aneh ya, mama sangat bersyukur semoga saja ini jawaban doa kita selama
ini pa. Kasihan Safa dari bayi sudah menderita, mama juga ga tega lihat Safa
divonis asma akut sama dokter itu kayak mimpi buruk rasanya ya pa.”
“Iya
ma, semoga saja Tuhan dengar dan kabulkan doa kita semua.” Ucap papa
mengaminkan.
Mendungnya pagi yang datang seakan
masih menyisakan sisa-sisa hujan semalam. Aroma tanah yang tersirami menebarkan
baunya yang khas. Safa kecil bergegas terbangun. Hari itu tumben sekali dia
melihat papa-nya belum berangkat kerja. Papa, mama, kakak dan abangnya terdiam
diruang dapur dan tetap terlihat murung saat kemunculan Safa yang ceria.
“Hore
papa ga kerja ya? Safa semalam ga sakit, pa. Papa mau nemenin Safa jalan-jalan
ya? Ayo pa Safa mau jalan-jalan kita ajak Heiley ya pa..” Papa menghampiri
Safa, langsung memeluk dan menggendong Safa.
“Nak,
Heiley sudah ikut Tuhan di Surga..”
“Ga
kok pa, semalam Safa mimpi jalan-jalan sama Heiley. Makanya ayo pa kita
jalan-jalan. Bareng mama, Abang Devon sama Ka Lena.” Jawab Safa dengan
bersemangat.
“Iya
sayang benar kata papa, Heiley sudah ikut Tuhan untuk jagain Safa dari Surga..”
Ucap mama menghampiri sambil mencium kening Safa.
“Mama
sama papa bohong! Safa mau ke kamar Heiley, bukain dong pa..” Mohon Safa. Papa mengantar
Safa ke halaman belakang rumah tempat Heiley dikubur.
“Sekarang
Heiley bobo nya disini nak. Biar dia bisa tetap jagain Safa dan keluarga kita.”
“Safa ga mau!!! Safa
maunya main sama Heiley. Safa ga mau, papa.. Bangunin Heiley pa, jangan tidur disitu
nanti Heiley ga bisa nafas kayak Safa..” Teriak Safa sambil tiada hentinya
menangis. Wajah mungilnya memerah, menahan pedih yang tidak terucapkan. Safa
ingat sekali baru kemarin ia berdoa bersama Heiley, memohon pada Tuhan agar
Tuhan membawa Safa ke Surga. Tapi kenapa Heiley yang justru Tuhan ajak ke
Surga? Apakah Safa bukan orang yang baik jadi Tuhan lebih memilih Heiley yang
tinggal sama Tuhan di Surga? Ataukah
saat itu, Heiley memohonkan doa yang lain? Doa yang meminta pada Tuhan agar
Tuhan menyembuhkan sakit Safa dan bersedia menggantikan nyawanya untuk
kesembuhan Safa. Pengorbanan nyawa seorang sahabat demi memohonkan hidup
sahabatnya, karena cinta seorang sahabat untuk sahabatnya yang tidak
terkatakan. Sebuah nilai kemurnian yang
hanya dapat dikenal lewat hati karena sejak saat itu, Safa tidak lagi
menderita atas penyakit yang selama ini divonis atasnya. Safa sudah tidak
pernah merasakan sesak pada nafasnya. Safa mulai bebas beraktivitas bermain
bersama kakak dan abangnya, juga bersama teman-teman sebayanya. Safa sudah
tidak perlu lagi bergantung pada obat-obatan, suntikan, apalagi bantuan
pernafasan lewat oksigen. Safa kecil sudah pulih total.
Mungkin hujan yang
turun tengah malam itu hendak menghantarkan pesan kepedihan perginya Heiley
dari hidup Safa..