Dear Diary..
Aku menulis lagi. Setelah cukup lama ku tutup rapat-rapat cerita ini dalam diam. Aku banyak kehilangan waktu dalam endapan lara ini, dan aku berjuang untuk menanggalkannya perlahan. Entah berapa masa yang terbuang percuma, aku seperti melukai diriku sendiri. Terhempas dalam pelataran asa yang tak bergeming walau coba berkali ku sentuh. Aku mencoba mengembalikan ingatanku pada setiap sudut wajahnya. Merasai kehangatan senyumnya yang membuat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada pandangan pertama. Laki-laki yang usianya 8 tahun lebih tua dariku. Dan kisah ini berlangsung saat aku kuliah 3 tahun yang lalu.
Aku menulis lagi. Setelah cukup lama ku tutup rapat-rapat cerita ini dalam diam. Aku banyak kehilangan waktu dalam endapan lara ini, dan aku berjuang untuk menanggalkannya perlahan. Entah berapa masa yang terbuang percuma, aku seperti melukai diriku sendiri. Terhempas dalam pelataran asa yang tak bergeming walau coba berkali ku sentuh. Aku mencoba mengembalikan ingatanku pada setiap sudut wajahnya. Merasai kehangatan senyumnya yang membuat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada pandangan pertama. Laki-laki yang usianya 8 tahun lebih tua dariku. Dan kisah ini berlangsung saat aku kuliah 3 tahun yang lalu.
“Kamu
kalau jalan hati-hati dong..”
“Maaf
pak, saya tidak sengaja.” Ku lihat tubuh jangkungnya yang berdiri tegap
didepanku. Wajah orientalnya yang datar dengan suara tegasnya tak membuatku
takut sedikitpun. Sebaliknya, hatiku berdegup kencang bagai desiran ombak yang
meronta mengairi pembuluh darahku. Perasaan yang tidak bisa aku beritahu pada
siapapun termasuk para sahabatku. Apa kata mereka nantinya jika mengetahui
bahwa aku mencintai dosenku sendiri.
Aku menantikan saat-saat jam mata
kuliah dia di hari Sabtu, walaupun aku hanya bisa melihatnya seminggu sekali
itu tak meruntuhkan kebahagiaanku. Dan sekalipun aku hanya bisa melihatnya di
kejauhan, aku masih bisa mengukur detail postur tubuhnya. Butuh waktu satu
tahun untuk bisa memberanikan diri menceritakan perasaan cintaku pada para
teman dekatku. Dan untung saja, mereka paham alasan aku untuk tidak
menceritakan mereka mengingat saat itu dia masih mengajar di kelasku.
“Hah??
Lu suka sama Pak Wijaya? Yang bener aja, dia kan udah tua, rambutnya aja udah
ubanan. Masa bisa-bisanya lu suka sama orang yang udah punya bini kayak gitu
sih Sil?” Tanya Ima tak percaya.
“Tau ih gue juga bingung, kok bisa ya suka sama orang kayak Pak Wijaya yang super duper dingin dan pelit nilai itu." Tambah Vero.
“Tau ih gue juga bingung, kok bisa ya suka sama orang kayak Pak Wijaya yang super duper dingin dan pelit nilai itu." Tambah Vero.
“Yah
nggak tau namanya juga perasaan, mana bisa gue kontrol cong..”
“Mau
gue salamin nggak Sil? Tuh ada orangnya noh lagi milih makan.” Goda Hanna yang
lantas membuat nyaliku melemah. Aku tahu betul Hanna orang yang tanpa ragu
mengaplikasikan apa yang dia katakan. Aku berusaha menyembunyikan wajahku ketika
aku lihat Pak Wijaya melirik ke arahku setelah Hanna menghampirinya. Untung saja
tubuh Novi sedikit menutupi aku, jadi aku yakin betul Pak Wijaya tidak sempat
mengetahui the secret adimirer-nya
itu adalah aku.
Setelah sekitar 2 bulan lamanya aku
tidak bisa melihat wajah Pak Wijaya karena libur semester, aku terpikir untuk mencari akun Facebooknya, dan langsung ketemu. Betapa senangnya hatiku saat itu, terlebih
saat Pak Wijaya langsung mengkonfirmasi permintaan bertemanku. Dan tanpa aku sangka, Pak Wijaya langsung mengirimkan pesan messenger untukku.
“Kamu
sudah skripsi?”
“Wah
baru juga masuk pak, sudah skripsi aja..”
“Oh
kirain kamu sudah mau lulus. Memangnya kamu semester berapa?”
“Baru
semester 5 pak. Bantuin ya pak kalau nanti kelarin skripsi.”
“Iya,
kamu tanya aja nanti saya bantu.”
“Wah
makasih loh pak..”
“Punya
no WA? Kirim sekarang.”
“08581*******
pak.”
Sejak saat itu hubungan kamipun
semakin dekat, bahkan lebih dari dekat terlebih sejak aku tahu Pak Wijaya masih
single. Hubungan yang aku tahu tidak
seharusnya terjadi antara dosen dengan mahasiswanya. Tapi perasaan ini adalah
murni, bukan untuk mengharapkan nilai A. Karena aku tidak lagi di bawah pengajaran
Pak Wijaya. Aku sudah terlebih dulu memperoleh nilai kelulusan A dari mata
kuliah Pak Wijaya sebelum kami menjalin hubungan. Dan nilai itu adalah hasil
dari kerja kerasku dan campur tangan Tuhan. Hal yang cukup lucu bagiku adalah saat tiap kami
bertemu secara diam-diam sepulang jam kuliah untuk menikmati kencan kami di
setiap hari Sabtu. Hal tersebut untuk menjaga profesionalitas Pak Wijaya
sebagai dosen dan aku yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Aku tahu ada
beberapa dosen yang mengetahui kedekatan hubungan kami, karena Pak Wijaya
kerapkali memberi komentar pada hampir setiap post yang aku kirimkan di Facebook.
Masa-masa indah yang tak akan pernah
mungkin aku lupakan. Sulit rasanya membayangkan aku bisa bersama dengan orang
yang aku cintai, dosen yang terkenal tegas dan dingin seperti dia dalam
hidupku. Aku bisa memeluknya, menciumi aroma tubuhnya, menyapukan tanganku
dirambutnya. Aku masih mengingat dengan jelas di malam saat dia tidak ingin
melepas aku dari pelukannya. Tak seperti disangka mahasiswa lainnya, Pak Wijaya
begitu lembut dan hangat memberi perhatian setiap kali kami bersama. Membelikan
sepotong kue kecil di hari ulang tahunku, bahkan memasak makanan untuk aku. Hal
sederhana tersebut mungkin terdengar biasa, tapi sangatlah indah bagiku. Bagai lentera
hati yang menerangi setiap sudut ruangan di hatiku yang sempat mengelam.
Dan ternyata masa bahagia itu
lagi-lagi tak bisa berlangsung lama dalam kisahku. Hubungan yang sempat terjalin
sampai satu tahun setelah aku lulus, ternyata tetap memiliki masa kadaluwarsanya
sendiri. Sampai detik dimana aku mengetahui bahwa bukan hanya aku yang mengisi
hati Pak Wijaya. Saat dimana aku menyadari bahwa dia tidak memiliki niatan
untuk melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius denganku. Tidak terlalu
melukaiku, karena aku sudah mempersiapkan segenap hatiku jauh sebelum aku
memutuskan untuk menjalin hubungan dengan dosenku sendiri. Laki-laki seperti
dirinya, tidak mungkin hanya mendekati satu orang wanita saja. Pak Wijaya telah
hampir memiliki segalanya, karir, bisnis, rumah dan segalanya. Tapi kesendiriannya
hingga di usianya seperti itu membuat aku berpikir dia tidak akan sembarang
saja mempercayakan hatinya pada seorang wanita. Dan aku sudah sangat siap
dengan luka itu hingga memilih mundur.
Sampai detik ini, kami masih
sesekali berusaha untuk keep in touch. Tidak
ada keinginan untuk kembali bersamanya, karena bagiku sekali saja aku
dikhianati, tidak akan pernah ada kesempatan kedua. Aku juga tahu dia kini
telah memiliki wanita yang lain yang kini bahagia bersamanya. Dan aku tahu
betul bahwa aku tidak boleh sedikitpun menyentuh peluang untuk bisa bertemu
dengannya, karena itu hanya akan menyenangkan baginya tapi justru menghancurkan
kekuatan hatiku untuk merelakannya. Akhir seharusnya tanpa penyesalan, dan setiap
masa yang tersisa jauh lebih berharga dari yang telah habis masanya.
No comments:
Post a Comment