Friday, August 18, 2017

Pacarku, Dosenku

Dear Diary..
            Aku menulis lagi. Setelah cukup lama ku tutup rapat-rapat cerita ini dalam diam. Aku banyak kehilangan waktu dalam endapan lara ini, dan aku berjuang untuk menanggalkannya perlahan. Entah berapa masa yang terbuang percuma, aku seperti melukai diriku sendiri. Terhempas dalam pelataran asa yang tak bergeming walau coba berkali ku sentuh. Aku mencoba mengembalikan ingatanku pada setiap sudut wajahnya. Merasai kehangatan senyumnya yang membuat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada pandangan pertama. Laki-laki yang usianya 8 tahun lebih tua dariku. Dan kisah ini berlangsung saat aku kuliah 3 tahun yang lalu.
“Kamu kalau jalan hati-hati dong..”
“Maaf pak, saya tidak sengaja.” Ku lihat tubuh jangkungnya yang berdiri tegap didepanku. Wajah orientalnya yang datar dengan suara tegasnya tak membuatku takut sedikitpun. Sebaliknya, hatiku berdegup kencang bagai desiran ombak yang meronta mengairi pembuluh darahku. Perasaan yang tidak bisa aku beritahu pada siapapun termasuk para sahabatku. Apa kata mereka nantinya jika mengetahui bahwa aku mencintai dosenku sendiri.
            Aku menantikan saat-saat jam mata kuliah dia di hari Sabtu, walaupun aku hanya bisa melihatnya seminggu sekali itu tak meruntuhkan kebahagiaanku. Dan sekalipun aku hanya bisa melihatnya di kejauhan, aku masih bisa mengukur detail postur tubuhnya. Butuh waktu satu tahun untuk bisa memberanikan diri menceritakan perasaan cintaku pada para teman dekatku. Dan untung saja, mereka paham alasan aku untuk tidak menceritakan mereka mengingat saat itu dia masih mengajar di kelasku.
“Hah?? Lu suka sama Pak Wijaya? Yang bener aja, dia kan udah tua, rambutnya aja udah ubanan. Masa bisa-bisanya lu suka sama orang yang udah punya bini kayak gitu sih Sil?” Tanya Ima tak percaya.
“Tau ih gue juga bingung, kok bisa ya suka sama orang kayak Pak Wijaya yang super duper dingin dan pelit nilai itu." Tambah Vero.
“Yah nggak tau namanya juga perasaan, mana bisa gue kontrol cong..”
“Mau gue salamin nggak Sil? Tuh ada orangnya noh lagi milih makan.” Goda Hanna yang lantas membuat nyaliku melemah. Aku tahu betul Hanna orang yang tanpa ragu mengaplikasikan apa yang dia katakan. Aku berusaha menyembunyikan wajahku ketika aku lihat Pak Wijaya melirik ke arahku setelah Hanna menghampirinya. Untung saja tubuh Novi sedikit menutupi aku, jadi aku yakin betul Pak Wijaya tidak sempat mengetahui the secret adimirer-nya itu adalah aku.
            Setelah sekitar 2 bulan lamanya aku tidak bisa melihat wajah Pak Wijaya karena libur semester, aku terpikir untuk mencari akun Facebooknya, dan langsung ketemu. Betapa senangnya hatiku saat itu, terlebih saat Pak Wijaya langsung mengkonfirmasi permintaan bertemanku. Dan tanpa aku sangka, Pak Wijaya langsung mengirimkan pesan messenger untukku.
“Kamu sudah skripsi?”
“Wah baru juga masuk pak, sudah skripsi aja..”
“Oh kirain kamu sudah mau lulus. Memangnya kamu semester berapa?”
“Baru semester 5 pak. Bantuin ya pak kalau nanti kelarin skripsi.”
“Iya, kamu tanya aja nanti saya bantu.”
“Wah makasih loh pak..”
“Punya no WA? Kirim sekarang.”
“08581******* pak.”
            Sejak saat itu hubungan kamipun semakin dekat, bahkan lebih dari dekat terlebih sejak aku tahu Pak Wijaya masih single. Hubungan yang aku tahu tidak seharusnya terjadi antara dosen dengan mahasiswanya. Tapi perasaan ini adalah murni, bukan untuk mengharapkan nilai A. Karena aku tidak lagi di bawah pengajaran Pak Wijaya. Aku sudah terlebih dulu memperoleh nilai kelulusan A dari mata kuliah Pak Wijaya sebelum kami menjalin hubungan. Dan nilai itu adalah hasil dari kerja kerasku dan campur tangan Tuhan. Hal yang cukup lucu bagiku adalah saat tiap kami bertemu secara diam-diam sepulang jam kuliah untuk menikmati kencan kami di setiap hari Sabtu. Hal tersebut untuk menjaga profesionalitas Pak Wijaya sebagai dosen dan aku yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Aku tahu ada beberapa dosen yang mengetahui kedekatan hubungan kami, karena Pak Wijaya kerapkali memberi komentar pada hampir setiap post yang aku kirimkan di Facebook.
            Masa-masa indah yang tak akan pernah mungkin aku lupakan. Sulit rasanya membayangkan aku bisa bersama dengan orang yang aku cintai, dosen yang terkenal tegas dan dingin seperti dia dalam hidupku. Aku bisa memeluknya, menciumi aroma tubuhnya, menyapukan tanganku dirambutnya. Aku masih mengingat dengan jelas di malam saat dia tidak ingin melepas aku dari pelukannya. Tak seperti disangka mahasiswa lainnya, Pak Wijaya begitu lembut dan hangat memberi perhatian setiap kali kami bersama. Membelikan sepotong kue kecil di hari ulang tahunku, bahkan memasak makanan untuk aku. Hal sederhana tersebut mungkin terdengar biasa, tapi sangatlah indah bagiku. Bagai lentera hati yang menerangi setiap sudut ruangan di hatiku yang sempat mengelam.
            Dan ternyata masa bahagia itu lagi-lagi tak bisa berlangsung lama dalam kisahku. Hubungan yang sempat terjalin sampai satu tahun setelah aku lulus, ternyata tetap memiliki masa kadaluwarsanya sendiri. Sampai detik dimana aku mengetahui bahwa bukan hanya aku yang mengisi hati Pak Wijaya. Saat dimana aku menyadari bahwa dia tidak memiliki niatan untuk melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius denganku. Tidak terlalu melukaiku, karena aku sudah mempersiapkan segenap hatiku jauh sebelum aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan dosenku sendiri. Laki-laki seperti dirinya, tidak mungkin hanya mendekati satu orang wanita saja. Pak Wijaya telah hampir memiliki segalanya, karir, bisnis, rumah dan segalanya. Tapi kesendiriannya hingga di usianya seperti itu membuat aku berpikir dia tidak akan sembarang saja mempercayakan hatinya pada seorang wanita. Dan aku sudah sangat siap dengan luka itu hingga memilih mundur.

            Sampai detik ini, kami masih sesekali berusaha untuk keep in touch. Tidak ada keinginan untuk kembali bersamanya, karena bagiku sekali saja aku dikhianati, tidak akan pernah ada kesempatan kedua. Aku juga tahu dia kini telah memiliki wanita yang lain yang kini bahagia bersamanya. Dan aku tahu betul bahwa aku tidak boleh sedikitpun menyentuh peluang untuk bisa bertemu dengannya, karena itu hanya akan menyenangkan baginya tapi justru menghancurkan kekuatan hatiku untuk merelakannya. Akhir seharusnya tanpa penyesalan, dan setiap masa yang tersisa jauh lebih berharga dari yang telah habis masanya.

No comments:

Post a Comment

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...