Monday, October 17, 2016

My Little Friend, Heiley

           Safa nama gadis kecil itu. Saat itu usianya masih menginjak 5 tahun. Sejak lahir dia sudah menderita asma, penyakit bawaan sang kakek dari garis mamanya. Saat sore hari itu, dia berdiri dibalik jendela rumah, hanya memandang dari kejauhan keceriaan kakak dan abangnya yang asik bermain bersama teman-temannya. Dia menangis merengek pada mamanya untuk diijinkan main diluar. Tapi seperti biasa, tidak pernah ada kata ‘iya’ dari sang mama. Dia menangis dan terus menangis. Sementara Heiley, anjing kecilnya hanya duduk mengusap-usap kaki Safa, berusaha menenangkan hati Safa dari kesedihan. Safa kecil memeluk anjing kesayangannya itu menahan senggukan, namun airmatanya tetap saja turun hingga berjatuh pada bulu Heiley. Heiley yang seakan turut merasakan kesedihan Safa-pun kembali mengusap-usap sambil meraung pelan. Mungkin hanya Tuhan, Safa dan Heiley yang tahu seberapa besar menyedihkannya saat-saat itu.
            Malam tiba dengan tergegas lalu, membaurkan keheningan bagai irama bersahutan. Mungkin ia berusaha untuk membuat hari itu berlalu dengan cepat sehingga Safa kecil tidak perlu merasakan kesedihan terlalu lama karena dengan datangnya sang malam, kakak dan abangnya akan menemaninya dirumah. Hingga ia tidak perlu merasakan kepedihan yang menyengat, menguasai hati dan pikiran masa kecilnya. Dan, sedikit saja dia bisa merasakan kebahagiaan indahnya memiliki kakak dan abang yang bisa menemaninya bermain menghabiskan sisa-sisa malam. Tapi tidak, kakak dan abang-nya terlalu sibuk untuk tugas pekerjaan rumah dari sekolah. Safa bertanya pada mama-nya kapan ia sudah bisa masuk sekolah. “Tunggu ya nak beberapa bulan lagi kamu genap 5 tahun, nanti baru kamu masuk TK”, jawab sang mama. Safa hanya terdiam sambil sesekali melihat ke arah pintu rumah berharap papa-nya segera pulang. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada sang papa. Ada banyak kekecewaan yang ingin segera dia akhiri. Bagi Safa, hanya papa-nya lah yang bisa memberikan jawaban itu mengingat sang mama selalu mengatakan kalimat ‘nanti tanya papa ya’.
            “Halo, mana boru papa?” Suara papa membuat Safa bergegas berlari melompat ke arah pelukan papa-nya. Safa tahu sekali bahwa papa-nya mencarinya. Karena dia selalu tahu bahwa ‘boru’ adalah panggilan kesayangan papa yang dikhususkan untuknya. Sekalipun Safa memiliki kakak perempuan yang usianya lebih tua darinya 4 tahun, tapi karena sakit yang dideritanya membuat papa selalu mengkhawatirkan kondisi Safa yang memang butuh perhatian khusus. Papa langsung memeluk dan mencium Safa seperti biasa dan menanyakan bagaimana kondisi Safa hari itu dengan banyak pertanyaan.
“Kambuh ga sakitmu tadi nak? Sudah minum obat belum? Makan banyak ga kamu tadi? Tadi main sama Heiley ya?” Tanya papa Safa penuh kecemasan.
“Kamu jadi beli empedu ular untuk Safa, Pa? Tanya mama yang menyusul ke arah ruang tamu.
“Ini papa sudah bawa ma. Kuat ga Safa ya makan beginian pahitnya minta ampun kata teman papa yang jual.” Jawab papa. Tiba-tiba Safa memotong pembicaraan mereka dengan kembali mengajukan pertanyaan yang sudah sedari tadi dia persiapkan untuk papa-nya.
“Papa, Safa mau sekolah. Kenapa sih Safa ga boleh main? Safa bosan dirumah, ga dikasih mama main diluar sama teman-teman.” Sahut Safa sambil kembali menangis.
“Bukannya gitu, nak.. Kata dokter kan kamu ga boleh cape, kamu nanti cape sedikit aja langsung kambuh, nanti papa sama mama yang sedih. Kalau kamu kambuh, papa dan mama yang menderita lihat kamu. Nanti kalau Safa sudah besar, sudah sembuh baru nanti kita jalan-jalan ya nak.” Jawab papa sambil menitikkan air mata memeluk Safa.
Seakan paham dengan kalimat yang disampaikan papa-nya, Safa kecil tertunduk dalam pangkuan merasakan kesedihan papa-nya yang begitu dalam karena penyakit yang dideritanya. Hampir tiap malam Safa tidak bisa tidur karena harus merasakan sesak yang mengganggu. Hingga saat waktunya tidur, seperti biasa tiap tengah malam tiba Safa merasakan sesak yang luar biasa. Padahal hari itu dia tidak banyak berlarian, hanya bermain dirumah bersama Heiley. Safa kecil berusaha menahan suara sesaknya, dia berjalan ke arah gudang menuju tempat Heiley tidur agar papa dan mamanya tidak mendengar nafas sesaknya. Tapi ternyata pintu gudang terkunci. Safa kembali ke kamar, tertelungkup memeluk bantal sambil berusaha menahan suara sesaknya. Papa Safa terbangun menyadari Safa yang mulai kambuh, lalu bergegas memberinya obat dan air hangat lalu menggendong anak kesayangannya itu. Safa mendengar papa-nya berdoa pada Tuhan dengan menangis, kata-kata yang tidak akan pernah Safa lupakan yaitu bahwa papa-nya meminta pada Tuhan agar mengangkat sakit anaknya itu, dan bersedia menggantikan dan menanggung sakit itu biarlah turun pada dia tapi jangan ke anak kesayangannya. Yang paling menyedihkan, bahkan papa-nya bersedia memilih mati asal anaknya itu bisa sembuh. Dalam hati, Safa hanya dipenuhi dengan banyak permohonan pada Tuhan. Seringnya dia mendengar papa dan mama-nya berdoa, membuat Safa menyadari bahwa Tuhan itu adalah seseorang yang tidak terlihat yang memiliki kantong ajaib seperti Doraemon yang bisa memenuhi apa saja keinginan orang yang memintanya. Dia hanya ingat papa-nya sering memberitahu bahwa Tuhan itu ada di Surga tempat orang-orang baik berkumpul, tapi bisa mendengar suara kita meskipun hanya dalam hati.
Keesokan paginya Safa terbangun lalu bergegas lari meminta mama membukakan kunci gudang, dia sudah tidak sabar untuk bermain dengan anjing kesayangannya, Heiley. Heiley yang juga seakan merasakan kerinduan yang sama dengan Safa, langsung memperdengarkan gonggongannya dan langsung berlari menghampiri Safa begitu pintu dibuka. Abang Safa dan kakaknya langsung terbangun dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
“Kasih makan dong de si Heiley-nya kasihan laper.”Seru Devon abang Safa. Safa langsung bergegas ke arah dapur untuk membuatkan Heiley makanan, tiba-tiba Safa mendengar kakaknya Lena sedang berbicara pada mama-nya didapur.
“Ma, emang kata dokter ga apa-apa kalau Safa main sama Heiley, takutnya bulunya Heiley tambah bikin dia kambuh..”
“Kan mama sudah tanyakan sebelumnya sama dokter, kata dokter ga apa-apa. Makanya mama nyuruh papa ambil Heiley dari rumah Om Krisna supaya bisa nemenin Safa jadi adikmu itu ada teman buat main dirumah. Om Krisna kan anjingnya dirumahnya banyak, jadi dia juga ga masalah kasih Heiley buat Safa.” Jawab mama.
“Oh begitu ya ma, Lena pikir ga boleh karena takut bulunya bikin Safa batuk dan sesak.”
“Heiley itu anjing aku, Safa ga batuk kok tiap deket-deket sama Heiley. Heiley kan sayang sama Safa.” Teriak Safa dengan polosnya seakan takut mama dan kakak-nya mengembalikan Heiley pada Om Krisna.
“Iya nak, mana tega mama jauhin kamu dari Heiley..” Ujar mama sambil nyuapin sarapan untuk Safa.
“Papa sudah pergi kerja ya, ma?” Tanya Safa kemudian.
“Sudah tadi, kamu kan maih tidur papa sudah berangkat buru-buru. Nanti kita ke dokter ya nak, obat kamu kan habis, ini kan jadwal kamu disuntik lagi.”
“Safa ga mau disuntik, ma.. Safa juga bosen minum obat terus. Kapan sih Safa berhenti minum obat?”
“Nanti kan kalau kamu sudah sembuh, kamu ga perlu minum obat lagi. Biar nanti kamu bisa masuk sekolah. Nanti kalau kamu ga minum obat dan ga mau disuntik, kata dokter nanti kamu makin lama sembuhnya.”
“Kok Safa lama sembuhnya sih ma.. Tuhan ga sayang ya ma sama Safa? Kakak sama abang ga sakit, tapi Safa sakit. Safa mau main diluar ma naik sepeda kayak teman-teman Safa..” Tiba-tiba mama Safa menangis mendengar ucapan anaknya itu, lalu membelai rambut Safa yang tebal dan mengepangnya. Heiley yang sedang menikmati menu makan pagi dari sahabatnya itu tiba-tiba berlari menghampiri Safa sambil menggonggong seakan turut merasakan kepiluan yang mendalam antara ibu dan anak tersebut.
            Safa mengajak Heiley bermain dihalaman depan rumah, namun selang berapa lama kemudian mama memintanya untuk masuk karena mama-nya akan pergi sebentar untuk mengantar abang dan kakaknya ke sekolah. Seperti biasa, Safa dan Heiley terkunci berdua didalam rumah, hanya menonton dirumah sambil bercerita dengan imajinasi yang hanya dirasakan oleh mereka berdua. Safa menikmati waktu kebersamaannya dengan Heiley, setidaknya dia tidak perlu merasakan terkurung lagi sendirian ketika mama harus pergi sebentar untuk mengantarkan kakak dan abangnya, atau sekedar ke warung, bahkan saat sedang masak didapur. Safa juga tidak mau merengek ketika mama harus meninggalkannya sendirian cukup lama. Dia tidak terlalu membebani mama dengan rengekkannya. Diusianya yang masih sangat kecil, dia menyadari keletihan mamanya. Kadang dia melihat mamanya menangis, bertengkar dengan papa hanya karena papa pulang tidak membawakan uang untuk bisa belanja kebutuhan sehari-hari, tidak jarang mama juga suka mengeluh tidak ada uang untuk beli obat untuk Safa dan bayar uang sekolah kakak dan abang Safa yang mengharuskan mama berhutang pada tetangga atau saudara. Safa sangat mengerti kesusahan orangtuanya. Untuk anak seusianya, pikirannya sudah terlalu matang untuk memahami apa yang terjadi.
            Safa mengajak Heiley ikut mengajukan permohonan pada Tuhan. Dia ingat papa dan mama-nya memejamkan mata dan melipat tangan saat berbicara pada Tuhan. Safa pun mengajarkan Heiley untuk melipat tangannya dan meminta Heiley untuk mengikuti doanya.
“Tuhan, kata papa Safa Tuhan itu ada ditempat orang-orang yang baik tapi Tuhan bisa dengar doa Safa. Tuhan, Safa ga mau lihat papa dan mama Safa sedih lagi. Boleh ga kalau Safa tinggal sama Tuhan di Surga? Safa janji ga nakal, Safa mau jadi orang baik. Safa sering susah nafas, rasanya sakit, papa dan mama selalu nangis. Safa ingin tinggal di Surga saja..”. Ucap Safa dalam doanya. Disaat yang sama, Heiley-pun mengajukan permohonan pada Tuhan.
            Tengah malam itu hujan turun dengan derasnya. Petir bersahutan meminta hujan untuk turun. Udara yang biasanya berdamai dengan alam dalam ketenangan, seakan mengiringi kedatangan hujan ke bumi hingga membuat berangin riuh seakan hampir membeku. Malam itu Safa tidur nyenyak sekali. Papa dan mama Safa berjaga dari tidur khawatir dinginnya malam membuat Safa kambuh dari sakitnya. Tapi, malam itu Safa sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda kesulitan bernafas. Hingga subuh papa dan mama Safa terjaga, namun anehnya Safa tidur terlihat sangat lelap tidak seperti malam-malam biasanya.
“Ma, Safa puji Tuhan ya ga ada tanda-tanda sesak nafasnya.”
“Iya ya pa, aneh ya, mama sangat bersyukur semoga saja ini jawaban doa kita selama ini pa. Kasihan Safa dari bayi sudah menderita, mama juga ga tega lihat Safa divonis asma akut sama dokter itu kayak mimpi buruk rasanya ya pa.”
“Iya ma, semoga saja Tuhan dengar dan kabulkan doa kita semua.” Ucap papa mengaminkan.
            Mendungnya pagi yang datang seakan masih menyisakan sisa-sisa hujan semalam. Aroma tanah yang tersirami menebarkan baunya yang khas. Safa kecil bergegas terbangun. Hari itu tumben sekali dia melihat papa-nya belum berangkat kerja. Papa, mama, kakak dan abangnya terdiam diruang dapur dan tetap terlihat murung saat kemunculan Safa yang ceria.
“Hore papa ga kerja ya? Safa semalam ga sakit, pa. Papa mau nemenin Safa jalan-jalan ya? Ayo pa Safa mau jalan-jalan kita ajak Heiley ya pa..” Papa menghampiri Safa, langsung memeluk dan menggendong Safa.
“Nak, Heiley sudah ikut Tuhan di Surga..”
“Ga kok pa, semalam Safa mimpi jalan-jalan sama Heiley. Makanya ayo pa kita jalan-jalan. Bareng mama, Abang Devon sama Ka Lena.” Jawab Safa dengan bersemangat.
“Iya sayang benar kata papa, Heiley sudah ikut Tuhan untuk jagain Safa dari Surga..” Ucap mama menghampiri sambil mencium kening Safa.
“Mama sama papa bohong! Safa mau ke kamar Heiley, bukain dong pa..” Mohon Safa. Papa mengantar Safa ke halaman belakang rumah tempat Heiley dikubur.
“Sekarang Heiley bobo nya disini nak. Biar dia bisa tetap jagain Safa dan keluarga kita.”
“Safa ga mau!!! Safa maunya main sama Heiley. Safa ga mau, papa.. Bangunin Heiley pa, jangan tidur disitu nanti Heiley ga bisa nafas kayak Safa..” Teriak Safa sambil tiada hentinya menangis. Wajah mungilnya memerah, menahan pedih yang tidak terucapkan. Safa ingat sekali baru kemarin ia berdoa bersama Heiley, memohon pada Tuhan agar Tuhan membawa Safa ke Surga. Tapi kenapa Heiley yang justru Tuhan ajak ke Surga? Apakah Safa bukan orang yang baik jadi Tuhan lebih memilih Heiley yang tinggal sama Tuhan di Surga? Ataukah saat itu, Heiley memohonkan doa yang lain? Doa yang meminta pada Tuhan agar Tuhan menyembuhkan sakit Safa dan bersedia menggantikan nyawanya untuk kesembuhan Safa. Pengorbanan nyawa seorang sahabat demi memohonkan hidup sahabatnya, karena cinta seorang sahabat untuk sahabatnya yang tidak terkatakan. Sebuah nilai kemurnian yang hanya dapat dikenal lewat hati karena sejak saat itu, Safa tidak lagi menderita atas penyakit yang selama ini divonis atasnya. Safa sudah tidak pernah merasakan sesak pada nafasnya. Safa mulai bebas beraktivitas bermain bersama kakak dan abangnya, juga bersama teman-teman sebayanya. Safa sudah tidak perlu lagi bergantung pada obat-obatan, suntikan, apalagi bantuan pernafasan lewat oksigen. Safa kecil sudah pulih total.
Mungkin hujan yang turun tengah malam itu hendak menghantarkan pesan kepedihan perginya Heiley dari hidup Safa..

No comments:

Post a Comment

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...