Menghabiskan waktu seharian dengan
menulis sambil minum teh adalah hal yang menyenangkan bagiku. Dalam kesendirianku, aku terbiasa
bermain-main dengan pikiranku, memikirkan banyak hal sampai mengkhayalkan mimpi
terbesarku. Sebuah mimpi yang mungkin terlihat mustahil, namun sangatlah indah.
Aku membayangkan diriku saat aku menerima pengakuan dari banyak orang atas
karyaku. Membayangkan banyaknya manfaat dan nilai positif yang dapat aku hasilkan
dari hidupku untuk orang lain. Membayangkan tulisan-tulisanku akan tetap dibaca
dan dikenang banyak orang sekalipun ragaku telah merenta bahkan mati.
Membayangkan aku bisa memuaskan hasratku untuk membangun rumah yang indah untuk
aku dan orangtuaku. Membayangkan aku dapat membangun bisnis keluarga sendiri,
sehingga adik-adikku, kakakku, kami semua tidak perlu lagi merasakan luntang-lantung
dan berpencar merantau hanya untuk mencukupi biaya hidup. Membayangkan aku bisa
membahagiakan orangtuaku, sehingga mama tidak perlu lagi berambisi untuk keluar
dari kesusahan yang menghantuinya sejak kecil, dan papa, tidak perlu lagi
bersusah untuk berjerih payah mengurusi warung kecil kami yang penghasilannya
hanya cukup untuk makan mereka sehari-hari. Membayangkan, aku bisa membawa
serta keluarga besarku untuk berkunjung ke Holy
Land. Waw luar biasa, bukan..?! Bagiku atau mungkin bagi banyak orang, ini
adalah khayalan terindah. Dan aku rela membiarkan otakku bekerja seharian terlena
untuk mencari tahu bagaimana tahap demi tahap sehingga aku bisa dekat dengan
mimpi-mimpi terindahku itu.
Di penghujung hari aku membenamkan
lamunanku. Kadang aku menitikkan air mata, kadang juga aku tertawa sendiri.
Apakah mimpi ini terlalu tinggi untuk aku raih bagi seorang aku yang tidak
terlalu pandai dan tidak memiliki pengetahuan yang banyak dalam menulis? Aku
menulis hanya untuk menyenangkan hari-hariku yang sepi. Menulis bagiku teman
bicara yang paling efektif dalam mengusir kesadaranku akan rasa sepi yang
menjangkitiku bertahun-tahun. Bahkan aku sendiri ragu akankah ada orang yang dengan
setia mendengarkan ceritaku, membaca tulisanku yang datar. Dulu.. Sangat dulu
sekali, ada seseorang yang aku selalu ingat akan setia mendengarkanku tanpa
peduli isi cerita itu tentang marahku, sedihku, bahagiaku, ataupun
kekhawatiranku. Seseorang yang membuat hatiku tak bisa lagi mencintai orang
yang lain. Seseorang yang saat ini aku yakini telah terhenti mendengarkan aku.
Seseorang, yang bahkan wajahnya saja tidak pernah lagi mengisi galeri di
telepon selulerku, tapi tidak pernah ranum dalam ingatanku yang perlahan menua.
Seseorang yang mungkin saat ini sedang sibuk mendengarkan cerita wanita yang
lain. Ah.., berulangkali aku menasihati hati dan pikiranku untuk tidak
memikirkannya. Tapi, bukankah kebodohan itu sesekali datang bukan berarti aku
masih tidak menerima takdirku untuk terpisah darinya?!
Perjalanan hidup ini memang tidak
pernah mudah bagiku. Aku tidak bisa menyalahkan orangtuaku yang menaruh harapan
sepenuhnya kepadaku, sekalipun aku bukanlah anak pertama. Sekalipun, tak bisa
dipungkiri, kita akan selalu bertemu ‘badai’ sesekali bahkan bersekian kali. Kelamaan,
aku menertawai semesta yang selalu mudah ditebak karena mengijinkan semuanya
itu. Seakan bicara pada diriku bahwa aku perlu sering-sering mempelajari proses
agar terbiasa tetap tenang dalam melalui segala kemungkinan pergumulan yang
datangnya kadang mendadak. Hidup memang tidak selalu tentang hal-hal yang indah.
Dalam kegelisahanku, aku sering menangis, merasai kerapuhanku. Tidak ada
satupun orang yang tahu dan dapat memahaminya. Sayangnya pula, tak satupun
diantara orang terdekatku yang memberikanku dukungan manis dengan berkata : “Jangan
sedih, kamu pasti bisa melewatinya. Aku selalu dukung kamu dalam doa. Kamu harus
tetap kuat yah..”. Kalimat yang biasa aku sampaikan pada mereka dalam
menunjukkan empatiku, tapi sebaliknya tak pernah aku dengar dari mereka. Hal yang
menjadikanku pribadi yang tertutup, menyimpan semua masalahku dalam-dalam
sambil berusaha tetap tersenyum. Itulah sebabnya terkadang aku benci dunia luar
dengan segala keegoisannya, tapi terlampau sering merindui eforia alam yang
bertawa lepas, mengenyahkan pekat. Hingga aku menyadari, cinta yang diberikan mereka
bukan seperti itu, sekalipun aku memahami mereka mencintai aku, aku tidak perlu
mengharap orang lain berbuat hal yang sama dengan apa yang aku lakukan. Karena
aku tahu, cara orang dalam mencintai itu berbeda.
Kehilangan
orang yang kita cintai memang hal yang paling menyakitkan dalam hidup. Beruntunnya
aku ditinggalkan, kadang membuat aku didera kesepian yang kepahitannya melebihi
maut (hal yang aku sampaikan dalam tulisanku berjudul “sepi”). Tapi mimpi
besarku tadi selalu jadi penghiburku
untuk bertahan. Aku masih memiliki keluarga dan teman-teman. Dan yang paling
penting, aku masih memiliki Tuhan. Aku masih memiliki banyak harapan dan cinta.
Aku percaya, entah bagaimana, aku akan memiliki hidup yang lebih bernilai bagi
orang lain, setidaknya aku bisa didengar walau mungkin hanya oleh satu orang
dalam hidupku. Aku percaya, suatu saat nanti aku pasti bisa meraih mimpiku. Aku
ingat, Miss Merry Riana dalam buku berjudul Langkah Sejuta Suluh didalamnya
terdapat kalimat : apabila kita mengatakan “bisa”, itu sudah membawa kita pada 50%
pencapaian keberhasilan kita. Yang penting aku harus mengerahkan semua kemampuan
dan tekadku untuk terus belajar dan tidak menyerah. Hard work always pays off!
No comments:
Post a Comment