Wednesday, April 26, 2017

Sepi

Ku sebut ia maut. Bahkan kehadirannya melebihi ketakutanku pada kematian. Ingin ku usir dia jauh-jauh dari peraduan malamku. Dan jika perlu, nafasnya tidak ingin lagi aku sentuh. Tapi, bagaimana bisa? Setiap pagi setianya merenggut senyumku yang mulai menghambar. Oh tidak.. Aku bahkan sudah lupa rasanya memekakan kata bahagia. Aku terlalu sibuk dengannya sampai tenggorokanku tercekat, mataku memerih, dan gairahku menggontai tak berdaya. Aku terkurung pada eforia yang tak bernyali untuk bergema. Dia merenggut semuanya hingga aku merasai jiwaku yang mulai mati, menghamba pada kepedihan. Sengatnya merasuki hingga ke setiap pembuluh darah.

Terlelah aku mengais asa, letih mengkhayal bahagia yang ku dewakan siang dan malam. Namun ia tetap saja mengasingkanku pada menara kegundahan. Jerujinya mematahkan ruang gerakku. Ahhh aku menyesal sempat mengundangnya, memberi dia ruang sesekali untuk menikmati diriku. Tapi nyatanya ia terlanjur menjadi bagian dalam diriku. Oh, aku rindu bingar, suara riuh yang menggaduh, menghernyakkan mimpi yang mulai pupus mengering. Aku benci pekatnya.. Kebisuannya merapuhkan cahaya di pelupuk mataku. Dia, yang temaramnya saja bahkan jauh lebih kelam dari malam, membuat segenapku berlarut dalam kesedihan yang tak bertepi. Berkesendirian, bahkan akal sehat masih saja menjauhiku, merontai kebodohanku yang diperhamba olehnya. Pergilah, tak ingin aku terdera. Biarkan saja semarak bergemuruh, sekalipun ia menertawakanku.

No comments:

Post a Comment

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...