Ku sebut ia maut. Bahkan kehadirannya melebihi ketakutanku pada
kematian. Ingin ku usir dia jauh-jauh dari peraduan malamku. Dan jika perlu, nafasnya
tidak ingin lagi aku sentuh. Tapi, bagaimana bisa? Setiap pagi setianya
merenggut senyumku yang mulai menghambar. Oh tidak.. Aku bahkan sudah lupa
rasanya memekakan kata bahagia. Aku terlalu sibuk dengannya sampai
tenggorokanku tercekat, mataku memerih, dan gairahku menggontai tak berdaya.
Aku terkurung pada eforia yang tak bernyali untuk bergema. Dia merenggut
semuanya hingga aku merasai jiwaku yang mulai mati, menghamba pada kepedihan.
Sengatnya merasuki hingga ke setiap pembuluh darah.
Terlelah aku mengais asa, letih mengkhayal bahagia yang ku dewakan siang
dan malam. Namun ia tetap saja mengasingkanku pada menara kegundahan. Jerujinya
mematahkan ruang gerakku. Ahhh aku menyesal sempat mengundangnya, memberi dia ruang
sesekali untuk menikmati diriku. Tapi nyatanya ia terlanjur menjadi bagian
dalam diriku. Oh, aku rindu bingar, suara riuh yang menggaduh, menghernyakkan
mimpi yang mulai pupus mengering. Aku benci pekatnya.. Kebisuannya merapuhkan
cahaya di pelupuk mataku. Dia, yang temaramnya saja bahkan jauh lebih kelam
dari malam, membuat segenapku berlarut dalam kesedihan yang tak bertepi. Berkesendirian,
bahkan akal sehat masih saja menjauhiku, merontai kebodohanku yang diperhamba
olehnya. Pergilah, tak ingin aku terdera. Biarkan saja semarak bergemuruh, sekalipun
ia menertawakanku.
No comments:
Post a Comment