Aku memandang pada tingkap-tingkap
di langit jendela kamarku, berusaha mencari tahu kapan hujan akan berhenti.
Mengapa ia tidak pernah membawa kabar baik untukku, sehingga aku selalu merasa
sedih yang berlarut merapuh dibuatnya. Tenggelam pada luka yang terlalu dalam
untuk dilupakan. Aku terjaga dari pembaringanku, membuka jendela hanya untuk
merasakan angin yang bersayup lirih terbawa hujan. Namun dengan jelas ingatanku
tiba-tiba muncul pada sesosok bayangan laki-laki yang selalu membuat aku
menjadikan dia orang yang pertama kali aku lihat tiap pagi sebelum memulai hari.
“Halo
sayang.. Selamat pagi!” Sebentuk kalimat sederhana dengan senyum dan tatapan
yang hangat bahkan suara itu, suara yang tidak akan pernah terlepas dari
ingatanku. Suara yang membuat aku enggan mendengar suara yang lain agar hanya
suaranya saja yang mengisi pikiranku.
“Aku
kangen banget sama kamu, Pras..” Tanpa sadar aku mengatakan kalimat itu dengan suara
yang terdera, seakan mengusir sayup angin tadi. Aku benar-benar
merindukannya. Rasanya aku tidak mampu menjalani hubungan jarak jauh seperti
ini. Keberadaannya yang jauh bertugas didaerah pedalaman Kalimantan membuat aku
sulit untuk berkomunikasi dengan Pras, bahkan walau hanya untuk berkabar lewat
sms.
Sudah
enam bulan lamanya Pras tidak juga menghubungiku. Untuk bisa berkomunikasi
dengannya aku harus menunggu Pras ke kota untuk mendapatkan signal, jadi yang
bisa aku lakukan hanya menunggu. Bisa dibilang, sejak satu tahun terakhir, kami
hanya bisa bicara di telpon dua sampai tiga kali saja. Sempat terlintas dibenakku
untuk memutuskan hubunganku dengan Pras, tapi kata-kata Pras sebelum dia
bertugas membuat niatku urung. Aku harus mendukungnya, demi masa depan
laki-laki yang aku cintai. Tinggal satu tahun tersisa, aku hanya perlu bersabar
sedikit lagi sebelum ia kembali ke Jakarta untuk melamarku.
Aku
berusaha menguatkan hatiku, membayangkan hal-hal indah yang akan aku jalani
bersama dengan Pras dan aku berharap ujian cinta ini akan segera berlalu.
Meskipun sesekali pikiran buruk terkadang muncul dengan banyaknya anggapan
teman-temanku bahwa banyak orang bertugas atau pergi ke Kalimantan tapi tak
kunjung ingat pulang kembali ke rumah asalnya dikarenakan masih banyaknya
hal-hal mistis disana. Aku hanya berdoa semoga itu tidak terjadi pada Pras dan
hubungan kami. Aku percaya Pras tidak akan mengecewakan aku, aku tahu dari saat
aku mempercayakan hatiku untuk dia sepenuhnya dan aku telah memilih dia untuk
jadi bapak dari anak-anakku nantinya. Aku percaya Pras akan menepati janjinya
untukku, demi cinta kami.
Setibanya
di kantor, seperti biasa Tian sudah menyambutku dengan senyumnya yang khas.
Hari ini dia terlihat berbeda dengan potongan rambutnya yang dipotong cepak.
Terlihat lebih tampan dari biasanya, dengan kemeja biru dan warna dasi yang
lebih gelap, dan pastinya dengan wajah orientalnya ditambah aroma parfum yang
begitu pas dengan karakternya yang ceria namun tidak terlalu menyengat. Berbeda
dengan Pras yang anti sekali dengan parfum, sehingga aku bisa mengingat pekat
aroma tubuhnya yang membuat aku selalu rindu untuk berada didekatnya.
“Woii
neng, bengong aja.. Ntar malam jadi nggak kita nongkrong bareng anak-anak di
Tebet balik kantor?”
“Hm..
Kayaknya kalian aja deh. Aku lagi males banget sumpah, pengen buru-buru pulang,
tiduran deh.”
“Ah
payah ah.. Ini kan hari Jumat, besok libur puas-puasin deh molor di rumah. Tapi
kalau sekarang kita nongkrong sampai puas biar kekinian..”
“Haha..
Ngga deh kalian aja. Macet banget pasti, yang ada nanti aku pulang kemaleman
dah.”
“Kalau
itu sih tenang aja, nanti aku yang anter kamu pulang dengan selamat ke rumah
naik motor butut kesayanganku jadi kita bisa cepet tuh.”
“Ah
itu mah emang mau kamu boncengan sama Sela, pakai alasan biar nggak macet
segala..” Potong Mba Iway sambil membawa tumpukan dokumen untuk aku periksa.
“Haha..
Mba Iway paling ngerti deh sama perasaan daku..” Tiba-tiba aku dan Mba Iway
ikut tertawa mendengar ucapan Tian itu. Sudah lama aku tahu dari teman-teman
kantor bahwa Tian menyukaiku, walaupun dia tidak pernah menyatakan itu secara
langsung kepadaku, mungkin karena aku
sudah memiliki Pras jadi dia urung untuk mengungkapkannya.
“Tapi
benar juga loh Sel, kamu emang harus ikut biar rame. Diantara semuanya yang
paling jarang ikut kumpul kita-kita cuma kamu loh jadi malam ini kamun harus
ikut, oke?!” Ujar Mba Iway yang terdengar agak memaksaku.
“Nah
tuh kan Sel, makanya ikut dong..” Tambah Tian.
“Hm..
Jadi gitu yah.. Baiklah kalau begitu. Tapi bener loh kamu anterin aku pulang
ya!”
“Siappp
madam.. With all of my heart.” Kembali Tian dengan wajah cerianya yang entah
kenapa terlihat sangat manis dan tampan di hari itu membuat aku melupakan
kegelisahan yang sedang menggalaui hatiku.
“Nah
gitu dong, pasti Anggi dan yang lainnya seneng banget kamu akhirnya bisa ikut
nongkrong, Sel.”
“Iya
mba.. Haha habisan aku lagi galau banget.”
“Kenapa?
Pras belum juga hubungi kamu ya?” Tanya Mba Iway yang sepertinya memperhatikan
gelagatku selama ini. Entah kenapa mendengar Mba Iway tiba-tiba mengucap nama
Pras, Tian langsung pergi pamit ke ruangannya meninggalkan aku berdua dengan
Mba Iway.
“Iya
nih mba.. Aku juga bingung, aku hanya khawatir dia kenapa-kenapa disana. Sudah
enam bulan lamanya dia belum juga hubungi aku mba..” Jawabku yang tiba-tiba
saja kembali merasa sedih, tapi aku berusaha menahan air mataku.
“Kamu
yang sabar ya.. Berdoa aja supaya Pras baik-baik aja disana dan segera memberi
kabar ke kamu. Kita siap kok ngobatin kesepian dan kegalauan kamu, makanya
mulai sekarang kamu jangan sendirian dan harus ikut kita kumpul-kumpul kalau
perlu kita kumpul dinner tiap hari. Haha..”
“Haha..
Iya mba siap, thank you ya mba, kalian emang paling bisa deh hibur aku.”
Sepulang
dari Tebet ternyata Tian menepati janjinya untuk mengantar aku pulang ke rumah,
padahal aku tahu rumahnya jauh di Bekasi dan dia harus mengantar aku dulu ke
Depok. Udara dingin sehabis hujan menambah pekatnya malam. Sesekali aku melihat
Tian memperhatikanku dari kaca spion. Laki-laki ini sepertinya memang jatuh
cinta denganku. Dia selalu tersenyum setiap aku berpapasan melihatnya kearah
spion. Tiba-tiba saja hatiku berdegup kencang. Entah merasa risih atau malu,
keduanya seperti bercampur. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini
lagi. Bahkan ketika aku mengomel agar dia tetap fokus membawa motor, Tian hanya
tersenyum dan menenangkanku untuk tidak khawatir. Dia memastikan bahwa dia akan
bertanggungjawab atas nyawanya dan siapapun yang bersamanya, hal itu yang
membuat dia tetap fokus. Padahal omelanku tersebut hanya untuk mengalihkan
perasaan dan jantungku yang berdegup kencang. Aku takut, aku jatuh cinta pada Tian
hanya untuk mengaburkan perasaanku yang lelah dalam penantian hubungan jarak
jauh yang sangat menyiksaku.
Aku
ingat waktu Pras sedang berusaha mendekati aku, dia selalu tenang, bahkan
jarang bercakap-cakap saat mengendarai motor. Hanya beberapa kali dia
menanyakan aku mengantuk atau tidak. Tapi Tian, hampir sepanjang perjalanan dia
tidak berhenti menanyakan apa saja yang menjadi kesukaanku. Apa yang biasa aku
lakukan untuk mengisi akhir pekan. Seakan tidak pernah habis pertanyaan yang
ingin dia tanyakan padaku. Benar-benar sangat berbanding terbalik dengan Pras.
Aku memang menerima cinta Pras saat itu karena aku jatuh cinta dengan
pembawaannya yang tenang. Tapi kehadiran Tian, membangkitkan rasa baru yang
bergejolak yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Sudah
hampir tiga tahun aku mengenal Tian, tapi aku tidak pernah melihatnya bersama
wanita. Bahkan sempat aku berpikir dia ini menyukai sesama jenis, tapi hal itu
terbantahkan saat ada teman kantorku yang ternyata masih ada hubungan saudara
jauh dengan keluarga Tian. Dari dia aku tahu bahwa Tian pernah hampir menikah
dengan seorang wanita, namun ternyata wanita tersebut hamil dengan laki-laki
lain, karena Tian mengaku tidak pernah menyentuh wanita tersebut untuk menjaga
imannya. Akhirnya mereka putus, dan tiga tahun setelah itu Tian tidak pernah
lagi berhubungan dengan wanita dan makin menjadi seorang yang workaholic yang membuatnya tidak terlalu
peduli dengan penampilannya. Sampai akhirnya ada seorang teman yang mengatakan
bahwa Tian kerapkali memperhatikan aku, bahkan saat aku tidak berada diruangan.
Sekalipun Tian sudah tahu kalau aku sudah memiliki kekasih dan akan menikah,
sikapnya terhadap aku tidak pernah berubah. Dia selalu menjadi orang pertama
yang menyambut kedatanganku masuk ruangan kantor.
Sesampainya
di rumah, Mama sudah menanti kedatanganku di depan pintu. Mama mempersilahkan
Tian masuk mampir terlebih dulu untuk sekedar minum kopi agar tidak mengantuk
di jalan, namun Tian menolaknya dengan halus karena sudah larut untuk bertamu.
“Sela
aku pamit ya, nanti aku kabarin kalau sudah sampai rumah.”
Perkataan Tian tersebut membuatku
sedikit kaget karena aku tidak menyangka bahwa Tian tahu aku memang
mengharapkan dia mengabariku sesampainya dia di rumah. Lagi-lagi dia masih saja
menghujani hatiku dengan rasa yang menyenangkan, yang membuatku seakan jatuh
cinta lagi. Lalu bagaimana dengan Pras? Bagaimana dengan cinta dan janji kami?
Oh Tuhan.. Aku merasa sangat bersalah terhadap Pras. Aku merasa sangat jahat
dan mengkhianati kepercayaan Pras terhadapku. Aku usir jauh-jauh perasaaanku
terhadap Tian demi mempertahankan cinta yang lama aku bangun bersama Pras. Aku
takut Pras mengalami godaan yang sama disana, jika aku tidak kuat
mempertahankan komitmen kami.
Benar saja Tian menghubungiku
sesampainya di rumah, bahkan hendak menelponku bila aku belum tidur. Terpaksa
aku tidak membalas pesannya agar dia berpikir bahwa aku sudah tidur. Namun,
tanpa disangka esok siangnya Tian datang menemuiku di rumah. Setelah berbincang
sedikit dengan Mama dan Papa, Tian meminta ijin untuk mengajak aku jalan.
Laki-laki ini seperti tidak ingat kalau wanita yang diajaknya jalan telah
memiliki kekasih. Aku hanya kaget dan tersentak saat mama dan papa langsung
mengijinkan kami keluar untuk jalan-jalan. Rupanya Tian telah berhasil
menghipnotis orangtuaku dengan pesonanya yang membawa energi positif pada
siapapun yang berbicara dengannya.
“Kamu
kok nggak bilang-bilang kalau mau datang ke rumah? Tanyaku.
“Habis
kamu nggak bales-bales BBM dan WA aku sih, jadi aku nekat deh nyamperin.”
“Tapi,
aku kan sudah punya pacar, ngapain kamu deketin aku gini?”
“Loh
emang aku keliatannya lagi deketin kamu ya?”
“Kalau
nggak lagi deketin trus apa dong nih namanya?”
“Yah
anggep aja aku lagi bertamu ke rumah teman kantor aku, tul nggak?”
“Yakin
kamu nggak lagi deketin aku?”
“Yah
terserah kamu ngerasanya gimana?”
“Aku
sih ngerasanya kalau kamu lagi deketin aku.”
“Nah
yah udah, kan aku bilang terserah kamu ngerasanya gimana.”
“Trus
ngapain ngajakin aku jalan, makan siang dan nonton segala?”
“Loh
bisa aja kan namanya teman sekantor buat jalan-jalan semacam ini?”
“Kamu
ini aneh ya.. Aku nggak mau loh kalau emang kamu tujuannya cuma buat deketin
aku, karena aku sudah punya pacar. Kamu kan tahu sendiri tahun depan aku
menikah dengan Pras.”
“Iya,
iya nggak perlu diperjelas gitu juga kali, aku juga paham kok. Lagipula kalau
kamu nggak ada perasaan apa-apa sama aku, kamu nggak perlu berpikiran aneh-aneh
dengan sikap aku begini.”
“Iya
sih, tapi kan..”
“Tapi
apa? Kamu takut ya kalau nantinya kamu jadi suka sama aku?”
“Enak
aja kamu ini pede sekali ya haha..” Tiba-tiba saja hatiku kembali berdegup
kencang dengan pertanyaan Tian yang membuat aku jadi salah tingkah.
“Nah
ya udah, anggep aja aku ini jelek, gigi aku tonggos, hidung aku bengkak, terus
janggut aku brewokan biar kamu makin illfeel sama aku.”
“Haha
ngakak banget sih jadinya. Aku nggak bisa bayangin kalau kamu tampangnya begitu.
Haha kocak..”
“Haha..
Jangankan kamu, aku aja nggak bisa terima kalau kamu sampai bayangin aku kayak
gitu.”
“Trus
kamu maunya aku bayangin kamu kayak apa?”
“Yah
kayak Tian-lah, Tian yang kamu kenal selama ini. Tian yang sayang sama kamu dan
nungguin kamu selama tiga tahun.”
“Hah??
Maksud kamu apa? Tuh kan kamu suka sama aku?”
“Haha..
Aku salah ngomong ya? Ya sudah lupain aja, yang penting kamu fokus dengan
hubungan kamu dan pacar kamu itu. Aku cuma bisa ngarepin kamu bisa bahagia sama
dia. Jujur, aku nggak ada niat untuk ngerusak hubungan kalian karena sudah
pernah ngalemin rasanya dikhianati. So, aku dukung hubungan kamu agar kamu bisa
bahagia, oke?!”
Oh
my God aku baru sadar ternyata Tian menyukaiku sejak tiga tahun lalu, sejak dia
putus dengan calon istrinya itu. Tian sangat pintar menutupi perasaannya
sampai-sampai aku tidak pernah menyadarinya. Atau mungkin aku memang tidak
pernah peduli, karena aku terlalu fokus untuk menjaga komitmen hubunganku
dengan Pras. Aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri, aku merasa bahagia
dengan pengakuan Tian yang ternyata menyukaiku sejak lama. Tapi, sekaligus aku
merasa khawatir dengan perasaanku sendiri, aku tahu, aku mulai jatuh cinta
dengan Tian. Dan perasaan itu membuat aku takut.
Sejak
saat pengakuan Tian tersebut, dia tidak pernah lagi mengirim pesan singkat
kepadaku lewat BBM ataupun WhatsApp. Sepertinya Tian benar-benar ingin aku
menjaga komitmenku dengan Pras, tapi seharusnya kan dia tidak usah mendatangiku
dengan pesonanya yang hangat dan manis. Sesekali aku mencari tahu keberadaannya
di ruangannya. Saat dia, seperti biasa tidak pernah terlihat santai dalam
pekerjaannya. Namun dia tidak menghilangkan kebiasaannya yang mengajak aku
makan siang bersama. Sekalipun dihadapan teman-teman kantor lainnya dia
terlihat biasa, tapi dia tidak bisa membohongiku dengan tatapannya yang
sesekali melirik ke arahku. Aku bahagia setiap kali dia melihat ke arahku, aku
bahagia setiap kali tangannya secara tidak sengaja bersentuhan dengan tanganku.
Aku bahagia dengan hari-hari yang aku lalui selama di kantor, karena aku bisa
memiliki waktu untuk sekedar melihat wajahnya dan mendengar suaranya tertawa.
Sudah
satu minggu berlalu, Tian tidak menghubungiku. Bahkan aku melihat handphone ditanganku hanya sekedar
menunggu Tian menghubungiku dengan kata-kata yang seasalnya. Aku ingat, Tian
pernah mengirimiku pesan singkat yang isinya hanya menanyakan kabar mama dan
papa. Atau mungkin pesan yang memberitahuku bahwa dia sedang terjebak macet
sampai rasanya ingin berbalik arah menuju rumahku saja. Bahkan kalimat
penyesalan, yang menyatakan bahwa dia ingin mengantar aku pulang tapi takut
hubunganku dengan Pras jadi berantakan karenanya. Oh aku benar-benar sudah
jatuh cinta dengan laki-laki itu, sampai-sampai kabar Pras tidak lagi aku
tunggu-tunggu melainkan hanya kabar dari dia saja. Disatu sisi aku merasa
bersalah pada Pras, namun disisi yang lain, aku menikmati semua masa-masa aku
bisa melihat dan berbicara dengannya.
Hatiku
merasa bahagia, tapi entah kenapa hari itu turun hujan dengan derasnya. Selama
ini, hujan selalu mewakili perasaanku, tapi kali ini seakan dia tidak turut
membaur dengan kebahagiaan yang aku rasakan. Untung saja hari ini hari Sabtu
jadi aku tidak perlu memusingkan berangkat kantor. Aku hanya berbaring di
kamar, sambil melihat foto di galeri handphone.
Aku melihat wajah Pras, tiba-tiba saja hatiku merasa sedih seakan dia telah
menghilang untuk selamanya dari hidupku. Ku ukir wajahnya dalam-dalam, berusaha
mengumpulkan segenap kekuatan untuk mengingat kembali kenangan bersamanya dan
janjinya. Hanya sekedar untuk membuatku bertahan pada cintaku terhadap Pras dan
membuang semua kekhawatiran dan pikiran negatif lainnya.
Sementara
di luar ternyata sudah ada mobil yang parkir di depan gerbang, aku bergegas ke
luar kamar karena aku tahu itu mobil Pras. Hatiku berdebar kencang dan
bertanya-tanya mengapa Pras tidak menghubungiku kalau sudah sampai Jakarta.
Benar saja, saat aku tiba di ruang tamu aku melihat Pras dan kedua orangtuanya
sedang berbincang dengan orangtuaku.
“Ma,
Pa.. Kok nggak kasih tahu Sela kalau Pras datang? Pras, kamu kok nggak
bilang-bilang sama aku sih kalau sudah sampai Jakarta? Om, Tante disini juga..?”
Tanyaku dengan nada penuh penasaran bercampur kecewa dan bahagia yang menjadi
satu. Sementara mereka hanya saling berpandangan satu sama lain.
“Sela,
maafkan aku..” Jawab Pras seraya menghampiriku. Aku langsung memeluknya dan
airmataku tiba-tiba saja keluar tak mampu membendung rasa rinduku. Tapi Pras
perlahan melepas pelukanku dari tubuhnya.
“Yuk
kita duduk, ada yang aku dan orangtuaku mau sampaikan ke kamu.”
“Om
Nathan, Tante Risa.. Ma, Pa ada apa sebenarnya?”
“Biar
Pras dan orangtuannya yang menyampaikan sendiri ke kamu, nak, kamu tenang
dulu..” Jawab Mama yang makin membuat aku takut.
“Hm..
Anu, begini nak Sela.. Saya sebagai orangtua mewakili Pras berkunjung kemari
untuk menyampaikan permintaan maaf kami ke nak Sela dan keluarga.” Jawab Om
Nathan dengan ragu-ragu berusaha menjelaskan. Aku semakin takut, tapi seperti
pesan Mama, aku harus tetap berusaha tenang.
“Minta
maaf? Minta maaf untuk apa ya Om? Tanyaku penasaran.
“Maafkan
aku, Sela.. Aku membatalkan maksud untuk menikahi kamu.” Jawaban Pras membuat
aku tersentak dan perasaanku tak menentu, hancur berkeping-keping.
“Ma
maksud kamu gimana Pras? Aku nggak ngerti!”
“Aku
sudah menikah dengan orang Kalimantan sejak tiga bulan yang lalu. Aku ingin
mengabarkan ke kamu tapi signal disana sangat buruk. Aku bahkan tidak sempat
memberitahu kedua orangtuaku.”
“Apa??
Kamu jangan becanda deh Pras? Aku nggak suka loh kamu giniin aku. Kamu sudah
janji tahun depan buat nikahin aku, Pras. Apa kamu nggak ingat..?” Seruku
sambil berusaha meraih tangan Pras, dan airmataku mulai turun dengan deras tak
terbendung lagi. Aku merasa hancur dan tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.
“Maafkan
aku, Sel..”
“Begini
nak Sela, kami juga kaget saat Pras tiba-tiba datang kemarin sore dan langsung
memberitahukan ini semua pada kami. Kami marah dan kecewa, sekaligus merasa
sangat bersalah. Akhirnya saya menyuruh Pras untuk datang bersama-sama menemui
kamu dan keluarga untuk meminta maaf secara pribadi. Tidak menghadiri
pernikahan anak sendiri sangat membuat saya hancur dan marah, apalagi harus
melihat nak Sela dan keluarga dikecewakan seperti ini oleh Pras. Tapi kami
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, nasi sudah jadi bubur, untuk memisahkan Pras
dan istrinya juga sudah tidak mungkin, karena istrinya kini tengah mengandung
cucu kami.” Terang Om Nathan sambil sesekali tertunduk dan sesekali melihat ke
arah Pras. Terlihat kekecewaan sekaligus kerapuhan diwajah Om Nathan dan Tante
Risa yang langsung menggenggam tanganku.
“Tega
banget ya kamu sama aku, Pras.. Aku berusaha menjaga pikiran aku dari pikiran
buruk tentang kamu yang tidak pernah menghubungi aku. Aku bertahan demi kamu,
demi cinta kita, demi mimpi kita Pras, apa kamu lupa??” Wajahku memerah padam,
tanganku gemetar seakan sedang mengalami mimpi yang sangat buruk. Mama langsung
memelukku lagi, aku melihatnya turut menangis karena melihatku.
“Maafin
aku, Sela.. Aku benar-benar menyesal aku tidak tahu harus berkata apa lagi ke
kamu. Aku cuma bisa bilang maaf sama kamu, Om dan Tante. Semoga kamu bisa
bahagia sekalipun bukan sama aku.”
“Sebaiknya
kalian pulang saja, biarkan Sela menenangkan diri. Saya mewakili keluarga sudah
memaafkan kamu, Pras. Selamat ya untuk pernikahan kamu. Semoga kalian
sekeluarga bahagia dan selalu sehat.” Jawab Papa dengan lembut dan berusaha
setenang mungkin.
“Pa..
Tapi Pras pa..”
“Iya,
Papa ngerti, tapi ya sudah ikhlaskan saja nak.. Biarkan Pras bahagia dan tenang
menjalani pernikahannya dengan istrinya.”
Aku jalani hari demi hari dengan
setengah hati setelah kepergian Pras dari hidupku. Aku masih tidak habis pikir,
mengapa Pras tega melakukan ini semua padaku. Aku mengajukan cuti dari kantor
selama seminggu. Aku tidak membalas satupun pesan dari teman-teman kantorku
yang begitu khawatir dengan keadaanku. Mereka berpikir aku sedang sakit, tapi
mereka tidak bisa menjengukku karena selama seminggu itu aku menyendiri dan
tinggal di Bandung. Papa dan Mama hampir tiap hari menanyakan kabarku, mereka
juga memberitahuku bahwa Tian beberapa kali datang menemuiku, tapi orangtuaku
tidak memberitahu Tian tentang kandasnya hubunganku dengan Pras.
Semesta membawaku pada penat yang
merapuh. Kesepian merasuki jiwaku dan berulang menambah hancurnya hati.
Tidak ada lagi yang tersisa. Aku mengaduh berkali-kali, mencari tahu dimana
letak keadilan cinta, dimana bagian yang terlewatkan sehingga aku tidak
diijinkan untuk bahagia, sekalipun dengan orang yang aku cintai. Angin berusaha
mengusikku untuk tidak berlarut dalam kesedihan, tapi aku tidak bisa.. Bahkan lagu-lagu
cinta yang dulunya indah terdengar, kini seakan mati iramanya. Hanya hujan yang
dengan setia mengiringi sepiku. Aku tidak menikmati suasana di Kota
Bandung yang ramainya saja bahkan tetap ku rasai mati. Hanya mengurung diri di
kamar hotel, berusaha menenangkan hati dan melepaskan pikiranku dari
bayang-bayang kenangan masa lalu.
Tanpa diduga, tiba-tiba saja ada
yang mengetuk kamar hotelku. Aku membuka perlahan dengan ragu. Ku lihat sesosok
wajah yang terlihat cemas. Tian langsung memeluk tubuhku dengan erat, sampai
aku hampir kehilangan nafas.
“Kamu
ini kenapa sih, Sel..? Aku telpon nggak diangkat, BBM dan WA aku juga nggak
kamu bales. Kenapa kamu ngehindar gini dari aku? Kenapa kamu cuti mendadak
gini? Kalau aku punya salah sama kamu, aku minta maaf, tapi jangan ngehilang
gini dari aku..”
“Aduh,
Tian lepasin aku.. Aku nggak bisa nafas ini..” Akhirnya Tian melepaskan
pelukannya dari aku. Aku melihat wajahnya yang berubah menjadi serius, lalu
tiba-tiba saja aku tertawa.
“Loh
kamu kok malah ketawa sih? Kamu ini emang nggak punya perasaan ya, aku sudah
jauh-jauh nyamperin kamu, aku khawatir malah kamu ketawain gini.”
“Lagi,
aku kan nggak nyuruh kamu nyamperin aku kesini. Aku nggak nyangka Papa dan Mama
bisa-bisanya kasih tahu kamu alamat aku menginap di Bandung.”
“Iya,
tadinya mereka juga berat buat kasih tahu aku, tapi mungkin karena hampir tiap
hari aku datang ke rumah, jadinya mereka cape sendiri kali ya dan nyerah deh.”
“Haha..
Emang ya kamu ini..” Mendengar jawabanku, Tian tetap serius memandangku tanpa
tersenyum dia mengusap pipiku dan tiba-tiba saja dia mencium keningku, lalu
memelukku lagi. Kali ini lebih lembut. Seakan aku ini adalah kekasihnya. Tapi kali ini aku tidak
menolak pelukannya, aku memang butuh pelukan dari Tian. Jauh di dalam lubuk
hatiku, dibalik kesedihan yang mendera, sebenarnya aku menyimpan rasa rindu
yang begitu sangat. Dan hanya pelukan Tian yang aku pikir sanggup
menenangkanku. Kali ini aku membalas pelukan Tian. Aku tidak perduli apakah
nantinya Tian berpikir aku juga sudah jatuh cinta pada dia. Aku hanya menikmati
momen indah itu dan ingin larut lebih lama di dalamnya. Telah lama rasanya aku
tidak merasakan pelukan sehangat itu. Kami berdua sama-sama merasa hanyut
dengan perasaan kami sendiri. Rasa bahagia mulai mengaliri sekujur tubuhku,
seakan menguapkan kesedihanku dari semua luka.
“Maafin
aku ya, aku nggak bales semua pesan-pesan kamu. Aku juga nggak pernah mau
angkat telpon dari kamu. Aku takut..”
“Iya
dimaafkan, tapi mulai sekarang kamu nggak boleh gitu lagi. Kamu nggak usah
mikirin mantan kamu itu lagi, nggak ada gunanya.” Aku terperanjat dengan
pernyataan Tian. Aku lihat wajahnya yang mulai tenang.
“Mantan?
Kok kamu tahu kalau aku sama Pras sudah pisah?” Tanyaku dengan penasaran.
“Apa
lagi yang bikin seseorang itu mendadak galau nggak ada kabar kayak kamu gini
selain putus dari mantan? Selain itu, aku juga sudah menebak kalian itu pasti
putus saat aku dengar cerita kamu ke Mba Iway kalau dia itu lama tidak kasih
kabar ke kamu.”
“Oh
pantes kamu berani deket-deketin aku, jadi kamu sudah feeling toh..?”
“Emangnya
kamu ngerasa ya kalau aku lagi deketin kamu?”
“Yaiyalah,
kamu aja yang nggak mau ngaku!”
“Kirain
kamu sudah mati rasa..”
“Enak
aja!”
“Tapi
aku kan sudah jujur kalau aku sayang sama kamu, aku sudah simpan dalam-dalam
perasaan ini selama tiga tahun dan aku benar-benar cinta sama kamu.” Jelas Tian
yang kali ini seraya merengkuh wajahku dengan kedua tangannya, lalu memelukku
lagi dengan erat, seakan enggan melepasku.
“Aku
juga sayang sama kamu.. Aku sayang sama Christian Kusumawijaya.”
“Kali
ini, aku nggak akan ngelepas kamu, Nona Marcela Budiman. Aku bertanggungjawab
dengan janjiku.”
No comments:
Post a Comment