Monday, July 24, 2017

Aku, Hujan dan Bahagia


            Aku memandang pada tingkap-tingkap di langit jendela kamarku, berusaha mencari tahu kapan hujan akan berhenti. Mengapa ia tidak pernah membawa kabar baik untukku, sehingga aku selalu merasa sedih yang berlarut merapuh dibuatnya. Tenggelam pada luka yang terlalu dalam untuk dilupakan. Aku terjaga dari pembaringanku, membuka jendela hanya untuk merasakan angin yang bersayup lirih terbawa hujan. Namun dengan jelas ingatanku tiba-tiba muncul pada sesosok bayangan laki-laki yang selalu membuat aku menjadikan dia orang yang pertama kali aku lihat tiap pagi sebelum memulai hari.
“Halo sayang.. Selamat pagi!” Sebentuk kalimat sederhana dengan senyum dan tatapan yang hangat bahkan suara itu, suara yang tidak akan pernah terlepas dari ingatanku. Suara yang membuat aku enggan mendengar suara yang lain agar hanya suaranya saja yang mengisi pikiranku.
“Aku kangen banget sama kamu, Pras..” Tanpa sadar aku mengatakan kalimat itu dengan suara yang terdera, seakan mengusir sayup angin tadi. Aku benar-benar merindukannya. Rasanya aku tidak mampu menjalani hubungan jarak jauh seperti ini. Keberadaannya yang jauh bertugas didaerah pedalaman Kalimantan membuat aku sulit untuk berkomunikasi dengan Pras, bahkan walau hanya untuk berkabar lewat sms.
Sudah enam bulan lamanya Pras tidak juga menghubungiku. Untuk bisa berkomunikasi dengannya aku harus menunggu Pras ke kota untuk mendapatkan signal, jadi yang bisa aku lakukan hanya menunggu. Bisa dibilang, sejak satu tahun terakhir, kami hanya bisa bicara di telpon dua sampai tiga kali saja. Sempat terlintas dibenakku untuk memutuskan hubunganku dengan Pras, tapi kata-kata Pras sebelum dia bertugas membuat niatku urung. Aku harus mendukungnya, demi masa depan laki-laki yang aku cintai. Tinggal satu tahun tersisa, aku hanya perlu bersabar sedikit lagi sebelum ia kembali ke Jakarta untuk melamarku.
Aku berusaha menguatkan hatiku, membayangkan hal-hal indah yang akan aku jalani bersama dengan Pras dan aku berharap ujian cinta ini akan segera berlalu. Meskipun sesekali pikiran buruk terkadang muncul dengan banyaknya anggapan teman-temanku bahwa banyak orang bertugas atau pergi ke Kalimantan tapi tak kunjung ingat pulang kembali ke rumah asalnya dikarenakan masih banyaknya hal-hal mistis disana. Aku hanya berdoa semoga itu tidak terjadi pada Pras dan hubungan kami. Aku percaya Pras tidak akan mengecewakan aku, aku tahu dari saat aku mempercayakan hatiku untuk dia sepenuhnya dan aku telah memilih dia untuk jadi bapak dari anak-anakku nantinya. Aku percaya Pras akan menepati janjinya untukku, demi cinta kami.
Setibanya di kantor, seperti biasa Tian sudah menyambutku dengan senyumnya yang khas. Hari ini dia terlihat berbeda dengan potongan rambutnya yang dipotong cepak. Terlihat lebih tampan dari biasanya, dengan kemeja biru dan warna dasi yang lebih gelap, dan pastinya dengan wajah orientalnya ditambah aroma parfum yang begitu pas dengan karakternya yang ceria namun tidak terlalu menyengat. Berbeda dengan Pras yang anti sekali dengan parfum, sehingga aku bisa mengingat pekat aroma tubuhnya yang membuat aku selalu rindu untuk berada didekatnya.
“Woii neng, bengong aja.. Ntar malam jadi nggak kita nongkrong bareng anak-anak di Tebet balik kantor?”
“Hm.. Kayaknya kalian aja deh. Aku lagi males banget sumpah, pengen buru-buru pulang, tiduran deh.”
“Ah payah ah.. Ini kan hari Jumat, besok libur puas-puasin deh molor di rumah. Tapi kalau sekarang kita nongkrong sampai puas biar kekinian..”
“Haha.. Ngga deh kalian aja. Macet banget pasti, yang ada nanti aku pulang kemaleman dah.”
“Kalau itu sih tenang aja, nanti aku yang anter kamu pulang dengan selamat ke rumah naik motor butut kesayanganku jadi kita bisa cepet tuh.”
“Ah itu mah emang mau kamu boncengan sama Sela, pakai alasan biar nggak macet segala..” Potong Mba Iway sambil membawa tumpukan dokumen untuk aku periksa.
“Haha.. Mba Iway paling ngerti deh sama perasaan daku..” Tiba-tiba aku dan Mba Iway ikut tertawa mendengar ucapan Tian itu. Sudah lama aku tahu dari teman-teman kantor bahwa Tian menyukaiku, walaupun dia tidak pernah menyatakan itu secara langsung kepadaku,  mungkin karena aku sudah memiliki Pras jadi dia urung untuk mengungkapkannya.
“Tapi benar juga loh Sel, kamu emang harus ikut biar rame. Diantara semuanya yang paling jarang ikut kumpul kita-kita cuma kamu loh jadi malam ini kamun harus ikut, oke?!” Ujar Mba Iway yang terdengar agak memaksaku.
“Nah tuh kan Sel, makanya ikut dong..” Tambah Tian.
“Hm.. Jadi gitu yah.. Baiklah kalau begitu. Tapi bener loh kamu anterin aku pulang ya!”
“Siappp madam.. With all of my heart.” Kembali Tian dengan wajah cerianya yang entah kenapa terlihat sangat manis dan tampan di hari itu membuat aku melupakan kegelisahan yang sedang menggalaui hatiku.
“Nah gitu dong, pasti Anggi dan yang lainnya seneng banget kamu akhirnya bisa ikut nongkrong, Sel.”
“Iya mba.. Haha habisan aku lagi galau banget.”
“Kenapa? Pras belum juga hubungi kamu ya?” Tanya Mba Iway yang sepertinya memperhatikan gelagatku selama ini. Entah kenapa mendengar Mba Iway tiba-tiba mengucap nama Pras, Tian langsung pergi pamit ke ruangannya meninggalkan aku berdua dengan Mba Iway.
“Iya nih mba.. Aku juga bingung, aku hanya khawatir dia kenapa-kenapa disana. Sudah enam bulan lamanya dia belum juga hubungi aku mba..” Jawabku yang tiba-tiba saja kembali merasa sedih, tapi aku berusaha menahan air mataku.
“Kamu yang sabar ya.. Berdoa aja supaya Pras baik-baik aja disana dan segera memberi kabar ke kamu. Kita siap kok ngobatin kesepian dan kegalauan kamu, makanya mulai sekarang kamu jangan sendirian dan harus ikut kita kumpul-kumpul kalau perlu kita kumpul dinner tiap hari. Haha..”
“Haha.. Iya mba siap, thank you ya mba, kalian emang paling bisa deh hibur aku.”

Sepulang dari Tebet ternyata Tian menepati janjinya untuk mengantar aku pulang ke rumah, padahal aku tahu rumahnya jauh di Bekasi dan dia harus mengantar aku dulu ke Depok. Udara dingin sehabis hujan menambah pekatnya malam. Sesekali aku melihat Tian memperhatikanku dari kaca spion. Laki-laki ini sepertinya memang jatuh cinta denganku. Dia selalu tersenyum setiap aku berpapasan melihatnya kearah spion. Tiba-tiba saja hatiku berdegup kencang. Entah merasa risih atau malu, keduanya seperti bercampur. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini lagi. Bahkan ketika aku mengomel agar dia tetap fokus membawa motor, Tian hanya tersenyum dan menenangkanku untuk tidak khawatir. Dia memastikan bahwa dia akan bertanggungjawab atas nyawanya dan siapapun yang bersamanya, hal itu yang membuat dia tetap fokus. Padahal omelanku tersebut hanya untuk mengalihkan perasaan dan jantungku yang berdegup kencang. Aku takut, aku jatuh cinta pada Tian hanya untuk mengaburkan perasaanku yang lelah dalam penantian hubungan jarak jauh yang sangat menyiksaku.
Aku ingat waktu Pras sedang berusaha mendekati aku, dia selalu tenang, bahkan jarang bercakap-cakap saat mengendarai motor. Hanya beberapa kali dia menanyakan aku mengantuk atau tidak. Tapi Tian, hampir sepanjang perjalanan dia tidak berhenti menanyakan apa saja yang menjadi kesukaanku. Apa yang biasa aku lakukan untuk mengisi akhir pekan. Seakan tidak pernah habis pertanyaan yang ingin dia tanyakan padaku. Benar-benar sangat berbanding terbalik dengan Pras. Aku memang menerima cinta Pras saat itu karena aku jatuh cinta dengan pembawaannya yang tenang. Tapi kehadiran Tian, membangkitkan rasa baru yang bergejolak yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Sudah hampir tiga tahun aku mengenal Tian, tapi aku tidak pernah melihatnya bersama wanita. Bahkan sempat aku berpikir dia ini menyukai sesama jenis, tapi hal itu terbantahkan saat ada teman kantorku yang ternyata masih ada hubungan saudara jauh dengan keluarga Tian. Dari dia aku tahu bahwa Tian pernah hampir menikah dengan seorang wanita, namun ternyata wanita tersebut hamil dengan laki-laki lain, karena Tian mengaku tidak pernah menyentuh wanita tersebut untuk menjaga imannya. Akhirnya mereka putus, dan tiga tahun setelah itu Tian tidak pernah lagi berhubungan dengan wanita dan makin menjadi seorang yang workaholic yang membuatnya tidak terlalu peduli dengan penampilannya. Sampai akhirnya ada seorang teman yang mengatakan bahwa Tian kerapkali memperhatikan aku, bahkan saat aku tidak berada diruangan. Sekalipun Tian sudah tahu kalau aku sudah memiliki kekasih dan akan menikah, sikapnya terhadap aku tidak pernah berubah. Dia selalu menjadi orang pertama yang menyambut kedatanganku masuk ruangan kantor.
Sesampainya di rumah, Mama sudah menanti kedatanganku di depan pintu. Mama mempersilahkan Tian masuk mampir terlebih dulu untuk sekedar minum kopi agar tidak mengantuk di jalan, namun Tian menolaknya dengan halus karena sudah larut untuk bertamu.
“Sela aku pamit ya, nanti aku kabarin kalau sudah sampai rumah.”
            Perkataan Tian tersebut membuatku sedikit kaget karena aku tidak menyangka bahwa Tian tahu aku memang mengharapkan dia mengabariku sesampainya dia di rumah. Lagi-lagi dia masih saja menghujani hatiku dengan rasa yang menyenangkan, yang membuatku seakan jatuh cinta lagi. Lalu bagaimana dengan Pras? Bagaimana dengan cinta dan janji kami? Oh Tuhan.. Aku merasa sangat bersalah terhadap Pras. Aku merasa sangat jahat dan mengkhianati kepercayaan Pras terhadapku. Aku usir jauh-jauh perasaaanku terhadap Tian demi mempertahankan cinta yang lama aku bangun bersama Pras. Aku takut Pras mengalami godaan yang sama disana, jika aku tidak kuat mempertahankan komitmen kami.
            Benar saja Tian menghubungiku sesampainya di rumah, bahkan hendak menelponku bila aku belum tidur. Terpaksa aku tidak membalas pesannya agar dia berpikir bahwa aku sudah tidur. Namun, tanpa disangka esok siangnya Tian datang menemuiku di rumah. Setelah berbincang sedikit dengan Mama dan Papa, Tian meminta ijin untuk mengajak aku jalan. Laki-laki ini seperti tidak ingat kalau wanita yang diajaknya jalan telah memiliki kekasih. Aku hanya kaget dan tersentak saat mama dan papa langsung mengijinkan kami keluar untuk jalan-jalan. Rupanya Tian telah berhasil menghipnotis orangtuaku dengan pesonanya yang membawa energi positif pada siapapun yang berbicara dengannya.
“Kamu kok nggak bilang-bilang kalau mau datang ke rumah? Tanyaku.
“Habis kamu nggak bales-bales BBM dan WA aku sih, jadi aku nekat deh nyamperin.”
“Tapi, aku kan sudah punya pacar, ngapain kamu deketin aku gini?”
“Loh emang aku keliatannya lagi deketin kamu ya?”
“Kalau nggak lagi deketin trus apa dong nih namanya?”
“Yah anggep aja aku lagi bertamu ke rumah teman kantor aku, tul nggak?”
“Yakin kamu nggak lagi deketin aku?”
“Yah terserah kamu ngerasanya gimana?”
“Aku sih ngerasanya kalau kamu lagi deketin aku.”
“Nah yah udah, kan aku bilang terserah kamu ngerasanya gimana.”
“Trus ngapain ngajakin aku jalan, makan siang dan nonton segala?”
“Loh bisa aja kan namanya teman sekantor buat jalan-jalan semacam ini?”
“Kamu ini aneh ya.. Aku nggak mau loh kalau emang kamu tujuannya cuma buat deketin aku, karena aku sudah punya pacar. Kamu kan tahu sendiri tahun depan aku menikah dengan Pras.”
“Iya, iya nggak perlu diperjelas gitu juga kali, aku juga paham kok. Lagipula kalau kamu nggak ada perasaan apa-apa sama aku, kamu nggak perlu berpikiran aneh-aneh dengan sikap aku begini.”
“Iya sih, tapi kan..”
“Tapi apa? Kamu takut ya kalau nantinya kamu jadi suka sama aku?”
“Enak aja kamu ini pede sekali ya haha..” Tiba-tiba saja hatiku kembali berdegup kencang dengan pertanyaan Tian yang membuat aku jadi salah tingkah.
“Nah ya udah, anggep aja aku ini jelek, gigi aku tonggos, hidung aku bengkak, terus janggut aku brewokan biar kamu makin illfeel sama aku.”
“Haha ngakak banget sih jadinya. Aku nggak bisa bayangin kalau kamu tampangnya begitu. Haha kocak..”
“Haha.. Jangankan kamu, aku aja nggak bisa terima kalau kamu sampai bayangin aku kayak gitu.”
“Trus kamu maunya aku bayangin kamu kayak apa?”
“Yah kayak Tian-lah, Tian yang kamu kenal selama ini. Tian yang sayang sama kamu dan nungguin kamu selama tiga tahun.”
“Hah?? Maksud kamu apa? Tuh kan kamu suka sama aku?”
“Haha.. Aku salah ngomong ya? Ya sudah lupain aja, yang penting kamu fokus dengan hubungan kamu dan pacar kamu itu. Aku cuma bisa ngarepin kamu bisa bahagia sama dia. Jujur, aku nggak ada niat untuk ngerusak hubungan kalian karena sudah pernah ngalemin rasanya dikhianati. So, aku dukung hubungan kamu agar kamu bisa bahagia, oke?!”
Oh my God aku baru sadar ternyata Tian menyukaiku sejak tiga tahun lalu, sejak dia putus dengan calon istrinya itu. Tian sangat pintar menutupi perasaannya sampai-sampai aku tidak pernah menyadarinya. Atau mungkin aku memang tidak pernah peduli, karena aku terlalu fokus untuk menjaga komitmen hubunganku dengan Pras. Aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri, aku merasa bahagia dengan pengakuan Tian yang ternyata menyukaiku sejak lama. Tapi, sekaligus aku merasa khawatir dengan perasaanku sendiri, aku tahu, aku mulai jatuh cinta dengan Tian. Dan perasaan itu membuat aku takut.
Sejak saat pengakuan Tian tersebut, dia tidak pernah lagi mengirim pesan singkat kepadaku lewat BBM ataupun WhatsApp. Sepertinya Tian benar-benar ingin aku menjaga komitmenku dengan Pras, tapi seharusnya kan dia tidak usah mendatangiku dengan pesonanya yang hangat dan manis. Sesekali aku mencari tahu keberadaannya di ruangannya. Saat dia, seperti biasa tidak pernah terlihat santai dalam pekerjaannya. Namun dia tidak menghilangkan kebiasaannya yang mengajak aku makan siang bersama. Sekalipun dihadapan teman-teman kantor lainnya dia terlihat biasa, tapi dia tidak bisa membohongiku dengan tatapannya yang sesekali melirik ke arahku. Aku bahagia setiap kali dia melihat ke arahku, aku bahagia setiap kali tangannya secara tidak sengaja bersentuhan dengan tanganku. Aku bahagia dengan hari-hari yang aku lalui selama di kantor, karena aku bisa memiliki waktu untuk sekedar melihat wajahnya dan mendengar suaranya tertawa.
Sudah satu minggu berlalu, Tian tidak menghubungiku. Bahkan aku melihat handphone ditanganku hanya sekedar menunggu Tian menghubungiku dengan kata-kata yang seasalnya. Aku ingat, Tian pernah mengirimiku pesan singkat yang isinya hanya menanyakan kabar mama dan papa. Atau mungkin pesan yang memberitahuku bahwa dia sedang terjebak macet sampai rasanya ingin berbalik arah menuju rumahku saja. Bahkan kalimat penyesalan, yang menyatakan bahwa dia ingin mengantar aku pulang tapi takut hubunganku dengan Pras jadi berantakan karenanya. Oh aku benar-benar sudah jatuh cinta dengan laki-laki itu, sampai-sampai kabar Pras tidak lagi aku tunggu-tunggu melainkan hanya kabar dari dia saja. Disatu sisi aku merasa bersalah pada Pras, namun disisi yang lain, aku menikmati semua masa-masa aku bisa melihat dan berbicara dengannya.
Hatiku merasa bahagia, tapi entah kenapa hari itu turun hujan dengan derasnya. Selama ini, hujan selalu mewakili perasaanku, tapi kali ini seakan dia tidak turut membaur dengan kebahagiaan yang aku rasakan. Untung saja hari ini hari Sabtu jadi aku tidak perlu memusingkan berangkat kantor. Aku hanya berbaring di kamar, sambil melihat foto di galeri handphone. Aku melihat wajah Pras, tiba-tiba saja hatiku merasa sedih seakan dia telah menghilang untuk selamanya dari hidupku. Ku ukir wajahnya dalam-dalam, berusaha mengumpulkan segenap kekuatan untuk mengingat kembali kenangan bersamanya dan janjinya. Hanya sekedar untuk membuatku bertahan pada cintaku terhadap Pras dan membuang semua kekhawatiran dan pikiran negatif lainnya.
Sementara di luar ternyata sudah ada mobil yang parkir di depan gerbang, aku bergegas ke luar kamar karena aku tahu itu mobil Pras. Hatiku berdebar kencang dan bertanya-tanya mengapa Pras tidak menghubungiku kalau sudah sampai Jakarta. Benar saja, saat aku tiba di ruang tamu aku melihat Pras dan kedua orangtuanya sedang berbincang dengan orangtuaku.
“Ma, Pa.. Kok nggak kasih tahu Sela kalau Pras datang? Pras, kamu kok nggak bilang-bilang sama aku sih kalau sudah sampai Jakarta? Om, Tante disini juga..?” Tanyaku dengan nada penuh penasaran bercampur kecewa dan bahagia yang menjadi satu. Sementara mereka hanya saling berpandangan satu sama lain.
“Sela, maafkan aku..” Jawab Pras seraya menghampiriku. Aku langsung memeluknya dan airmataku tiba-tiba saja keluar tak mampu membendung rasa rinduku. Tapi Pras perlahan melepas pelukanku dari tubuhnya.
“Yuk kita duduk, ada yang aku dan orangtuaku mau sampaikan ke kamu.”
“Om Nathan, Tante Risa.. Ma, Pa ada apa sebenarnya?”
“Biar Pras dan orangtuannya yang menyampaikan sendiri ke kamu, nak, kamu tenang dulu..” Jawab Mama yang makin membuat aku takut.
“Hm.. Anu, begini nak Sela.. Saya sebagai orangtua mewakili Pras berkunjung kemari untuk menyampaikan permintaan maaf kami ke nak Sela dan keluarga.” Jawab Om Nathan dengan ragu-ragu berusaha menjelaskan. Aku semakin takut, tapi seperti pesan Mama, aku harus tetap berusaha tenang.
“Minta maaf? Minta maaf untuk apa ya Om? Tanyaku penasaran.
“Maafkan aku, Sela.. Aku membatalkan maksud untuk menikahi kamu.” Jawaban Pras membuat aku tersentak dan perasaanku tak menentu, hancur berkeping-keping.
“Ma maksud kamu gimana Pras? Aku nggak ngerti!”
“Aku sudah menikah dengan orang Kalimantan sejak tiga bulan yang lalu. Aku ingin mengabarkan ke kamu tapi signal disana sangat buruk. Aku bahkan tidak sempat memberitahu kedua orangtuaku.”
“Apa?? Kamu jangan becanda deh Pras? Aku nggak suka loh kamu giniin aku. Kamu sudah janji tahun depan buat nikahin aku, Pras. Apa kamu nggak ingat..?” Seruku sambil berusaha meraih tangan Pras, dan airmataku mulai turun dengan deras tak terbendung lagi. Aku merasa hancur dan tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.
“Maafkan aku, Sel..”
“Begini nak Sela, kami juga kaget saat Pras tiba-tiba datang kemarin sore dan langsung memberitahukan ini semua pada kami. Kami marah dan kecewa, sekaligus merasa sangat bersalah. Akhirnya saya menyuruh Pras untuk datang bersama-sama menemui kamu dan keluarga untuk meminta maaf secara pribadi. Tidak menghadiri pernikahan anak sendiri sangat membuat saya hancur dan marah, apalagi harus melihat nak Sela dan keluarga dikecewakan seperti ini oleh Pras. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, nasi sudah jadi bubur, untuk memisahkan Pras dan istrinya juga sudah tidak mungkin, karena istrinya kini tengah mengandung cucu kami.” Terang Om Nathan sambil sesekali tertunduk dan sesekali melihat ke arah Pras. Terlihat kekecewaan sekaligus kerapuhan diwajah Om Nathan dan Tante Risa yang langsung menggenggam tanganku.
“Tega banget ya kamu sama aku, Pras.. Aku berusaha menjaga pikiran aku dari pikiran buruk tentang kamu yang tidak pernah menghubungi aku. Aku bertahan demi kamu, demi cinta kita, demi mimpi kita Pras, apa kamu lupa??” Wajahku memerah padam, tanganku gemetar seakan sedang mengalami mimpi yang sangat buruk. Mama langsung memelukku lagi, aku melihatnya turut menangis karena melihatku.
“Maafin aku, Sela.. Aku benar-benar menyesal aku tidak tahu harus berkata apa lagi ke kamu. Aku cuma bisa bilang maaf sama kamu, Om dan Tante. Semoga kamu bisa bahagia sekalipun bukan sama aku.”
“Sebaiknya kalian pulang saja, biarkan Sela menenangkan diri. Saya mewakili keluarga sudah memaafkan kamu, Pras. Selamat ya untuk pernikahan kamu. Semoga kalian sekeluarga bahagia dan selalu sehat.” Jawab Papa dengan lembut dan berusaha setenang mungkin.
“Pa.. Tapi Pras pa..”
“Iya, Papa ngerti, tapi ya sudah ikhlaskan saja nak.. Biarkan Pras bahagia dan tenang menjalani pernikahannya dengan istrinya.”


            Aku jalani hari demi hari dengan setengah hati setelah kepergian Pras dari hidupku. Aku masih tidak habis pikir, mengapa Pras tega melakukan ini semua padaku. Aku mengajukan cuti dari kantor selama seminggu. Aku tidak membalas satupun pesan dari teman-teman kantorku yang begitu khawatir dengan keadaanku. Mereka berpikir aku sedang sakit, tapi mereka tidak bisa menjengukku karena selama seminggu itu aku menyendiri dan tinggal di Bandung. Papa dan Mama hampir tiap hari menanyakan kabarku, mereka juga memberitahuku bahwa Tian beberapa kali datang menemuiku, tapi orangtuaku tidak memberitahu Tian tentang kandasnya hubunganku dengan Pras.
            Semesta membawaku pada penat yang merapuh. Kesepian merasuki jiwaku dan berulang menambah hancurnya hati. Tidak ada lagi yang tersisa. Aku mengaduh berkali-kali, mencari tahu dimana letak keadilan cinta, dimana bagian yang terlewatkan sehingga aku tidak diijinkan untuk bahagia, sekalipun dengan orang yang aku cintai. Angin berusaha mengusikku untuk tidak berlarut dalam kesedihan, tapi aku tidak bisa.. Bahkan lagu-lagu cinta yang dulunya indah terdengar, kini seakan mati iramanya. Hanya hujan yang dengan setia mengiringi sepiku. Aku tidak menikmati suasana di Kota Bandung yang ramainya saja bahkan tetap ku rasai mati. Hanya mengurung diri di kamar hotel, berusaha menenangkan hati dan melepaskan pikiranku dari bayang-bayang kenangan masa lalu.
            Tanpa diduga, tiba-tiba saja ada yang mengetuk kamar hotelku. Aku membuka perlahan dengan ragu. Ku lihat sesosok wajah yang terlihat cemas. Tian langsung memeluk tubuhku dengan erat, sampai aku hampir kehilangan nafas.
“Kamu ini kenapa sih, Sel..? Aku telpon nggak diangkat, BBM dan WA aku juga nggak kamu bales. Kenapa kamu ngehindar gini dari aku? Kenapa kamu cuti mendadak gini? Kalau aku punya salah sama kamu, aku minta maaf, tapi jangan ngehilang gini dari aku..”
“Aduh, Tian lepasin aku.. Aku nggak bisa nafas ini..” Akhirnya Tian melepaskan pelukannya dari aku. Aku melihat wajahnya yang berubah menjadi serius, lalu tiba-tiba saja aku tertawa.
“Loh kamu kok malah ketawa sih? Kamu ini emang nggak punya perasaan ya, aku sudah jauh-jauh nyamperin kamu, aku khawatir malah kamu ketawain gini.”
“Lagi, aku kan nggak nyuruh kamu nyamperin aku kesini. Aku nggak nyangka Papa dan Mama bisa-bisanya kasih tahu kamu alamat aku menginap di Bandung.”
“Iya, tadinya mereka juga berat buat kasih tahu aku, tapi mungkin karena hampir tiap hari aku datang ke rumah, jadinya mereka cape sendiri kali ya dan nyerah deh.”
“Haha.. Emang ya kamu ini..” Mendengar jawabanku, Tian tetap serius memandangku tanpa tersenyum dia mengusap pipiku dan tiba-tiba saja dia mencium keningku, lalu memelukku lagi. Kali ini lebih lembut. Seakan aku ini adalah kekasihnya. Tapi kali ini aku tidak menolak pelukannya, aku memang butuh pelukan dari Tian. Jauh di dalam lubuk hatiku, dibalik kesedihan yang mendera, sebenarnya aku menyimpan rasa rindu yang begitu sangat. Dan hanya pelukan Tian yang aku pikir sanggup menenangkanku. Kali ini aku membalas pelukan Tian. Aku tidak perduli apakah nantinya Tian berpikir aku juga sudah jatuh cinta pada dia. Aku hanya menikmati momen indah itu dan ingin larut lebih lama di dalamnya. Telah lama rasanya aku tidak merasakan pelukan sehangat itu. Kami berdua sama-sama merasa hanyut dengan perasaan kami sendiri. Rasa bahagia mulai mengaliri sekujur tubuhku, seakan menguapkan kesedihanku dari semua luka.
“Maafin aku ya, aku nggak bales semua pesan-pesan kamu. Aku juga nggak pernah mau angkat telpon dari kamu. Aku takut..”
“Iya dimaafkan, tapi mulai sekarang kamu nggak boleh gitu lagi. Kamu nggak usah mikirin mantan kamu itu lagi, nggak ada gunanya.” Aku terperanjat dengan pernyataan Tian. Aku lihat wajahnya yang mulai tenang.
“Mantan? Kok kamu tahu kalau aku sama Pras sudah pisah?” Tanyaku dengan penasaran.
“Apa lagi yang bikin seseorang itu mendadak galau nggak ada kabar kayak kamu gini selain putus dari mantan? Selain itu, aku juga sudah menebak kalian itu pasti putus saat aku dengar cerita kamu ke Mba Iway kalau dia itu lama tidak kasih kabar ke kamu.”
“Oh pantes kamu berani deket-deketin aku, jadi kamu sudah feeling toh..?”
“Emangnya kamu ngerasa ya kalau aku lagi deketin kamu?”
“Yaiyalah, kamu aja yang nggak mau ngaku!”
“Kirain kamu sudah mati rasa..”
“Enak aja!”
“Tapi aku kan sudah jujur kalau aku sayang sama kamu, aku sudah simpan dalam-dalam perasaan ini selama tiga tahun dan aku benar-benar cinta sama kamu.” Jelas Tian yang kali ini seraya merengkuh wajahku dengan kedua tangannya, lalu memelukku lagi dengan erat, seakan enggan melepasku.
“Aku juga sayang sama kamu.. Aku sayang sama Christian Kusumawijaya.”
“Kali ini, aku nggak akan ngelepas kamu, Nona Marcela Budiman. Aku bertanggungjawab dengan janjiku.”

No comments:

Post a Comment

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...