Friday, July 21, 2017

Diary Fiktif, 220717


Aku tidak bisa menghindari saat-saat dimana kegelisahan itu datang lagi. Aku tidak bisa berhenti memikirkan takdirku. Aku menyadari, Heru bukanlah takdirku. Aku tahu Koko Gun tidak akan pernah menjadi takdirku. Bahkan, aku juga tahu, Sandi-pun tidak diciptakan untuk takdirku. Tidak satupun diantara mereka yang akan menjadi pilihan terakhirku. Dan untuk membayangkannya saja aku tidak pernah punya nyali memiliki mereka dalam hidupku. Dunia terasa gelap, suram dan memudar. Mimpi-mimpiku semakin pupus tergerus oleh waktu. Aku benar-benar kehilangan arah, kehilangan keinginan untuk memimpikan bagaimana rasanya menikmati bahagia. Meredup bagai senja yang mengelam, putus asa dan menyerah pada malam.
Sejak enam tahun yang lalu, aku berpikir tentang pernikahan. Pernikahan yang akan aku jalani bersama dengan tunanganku diusiaku ke 27 tahun, laki-laki yang aku percayai untuk mendampingi dan menua bersamaku. Aku mencintainya setengah mati, hingga rasanya aku benar-benar ingin mati saja saat nyatanya aku harus kehilangan dia untuk selamanya. Aku kehilangan harapan, aku hancur dan habis akal. Seperti pecundang yang tidak layak untuk dicintai. Namun, sesekali aku mempercayai, bahwa suatu hari nanti aku akan  menjadi seorang istri sekaligus ibu yang paling bahagia didunia ini.
Aku menghiasi peraduan malamku dengan doa-doa penuh luka yang mengelu. Menyampaikan banyak kerinduan seakan tidak ada satupun yang bersedia mendengarkanku kecuali Sang Penciptaku. Aku memohon pelukan Tuhan untuk meneduhkan tangisanku. Aku lemah dan tak berdaya, bertubi menyampaikan hal-hal yang tak pernah bisa tersampaikan pada orang yang lain. Aku hanya menyimpannya dalam-dalam dihatiku yang tak bernyali, karena aku sadar betul hanya Tuhan yang berkenan mendengarkan ungkapan yang tak bersuara sekalipun.
Bertanya dalam hatiku, sampai kapan aku berduka berlarut-larut? Aku belum juga bisa melupakan janji indah yang tersemai antara aku dan Heru. Aku tahu dia telah berubah, dia tidak lagi orang yang sama yang pernah sangat mencintaiku. Dia kini telah bersama dengan wanita yang lain dan telah benar-benar menghapus aku dari memori terdalamnya. Aku menangis tanpa henti. Merasai hati yang terluka, jiwa yang tertekan tanpa bisa aku kendalikan. Ujian terberat dalam kehilangan adalah saat aku harus melepaskan dia dari genggamanku dan juga hatiku. Aku yang tak pernah bisa berhenti satu detikpun mencintainya. Aku tahu terlalu mudah baginya untuk melupakanku, karena aku tidak pernah bisa mencintainya sebanyak cinta yang dia berikan kepadaku.
Bertanya lagi aku dalam hening dan kesepian yang bisu, berdosakah aku jika aku ingin memilih takdirku sendiri? Aku baru menyadari sakit rasanya diabaikan, dipermainkan oleh takdir yang memilih menyerah sebelum termiliki. Bahkan pekatnya malam, tidak pernah sepekat dukaku karena kehilangan untuk kesekian kalinya dalam hidupku. Aku benar-benar muak dengan diriku dan semua kebodohanku yang masih saja tidak bisa beranjak karena tertahan di masa lalu, mengangankan diri ini terlelap dalam teduh pelukannya. Aku bosan karena tidak pernah habis cerita untuk menceritakan betapa besarnya rasa bahagia yang aku impikan untuk hidup bersamanya. Seakan telah habis perasaan ini terkikis dan lelah untuk jatuh cinta, lagi.. Aku ingin mengubur dalam-dalam semua tentang dia dan kenangan masa lalu, dan belajar untuk membencinya. Namun, membenci bagiku sama sulitnya dengan jatuh cinta.
Sekali saja dan untuk terakhir kalinya, aku ingin merasai cinta yang sejati, yang tidak perlu bercampur luka karena tidak diijinkan untuk saling memiliki, melainkan saling membagi bahagia dan apapun itu untuk bertahan karena cinta. Merasai rasanya cinta yang hangat setiap harinya hingga raga saling merenta. Seperti bulan yang setia pada malam, yang tidak pernah menyerah untuk bertahan dan membagi sinarnya, begitulah aku ingin merasai cinta. Yang sekalipun hujan, tetap dinginnya saja tidak ingin aku bagi dengannya. Seperti hatiku, aku ingin ia tetap hangat. Karena melihatnya bahagia bagiku adalah dukungan semesta yang paling sempurna dalam mencintai. Sekalipun aku diijinkan memilih takdirku sendiri, aku tetap meyakini bahwa Tuhan, Sang Penciptaku itu paling tahu yang terbaik untukku. Dan aku harus tetap hidup, tetap menyediakan hati yang baru, tetap menjalani proses sampai saat yang tepat itu datang dan takdir menemuiku dengan restu-Nya.

Aku, sesungguhnya tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Aku tahu aku juga boleh meminta hak yang sama untuk memiliki kawan hidup yang akan melengkapi sisi kosongku. Hidup memang masih harus tetap berjalan. Sekalipun aku tidak bisa memiliki masa lalu, tidak lagi raganya menyentuhku, tidak lagi bisa mendengar bisik cintanya, dan tidak akan lagi memiliki gambar dirinya, aku masih punya kesempatan untuk menjalani masa depan. Masa lalu bersama kenangannya, harapanku, Tuhan mengambil ingatanku tentang dia, tentang semua janji-janji hidup bersama. Melepaskan apa yang telah terlepas dari genggamanku dan berhenti memintanya kembali.

No comments:

Post a Comment

Sunday Diary, 280118

Dear Diary.. Tiba-tiba saja koko menghubungiku lagi. Entah harus senang atau tidak, yang jelas perasaanku mulai datar. Bahkan aku memutusk...