Aku
tidak bisa menghindari saat-saat dimana kegelisahan itu datang lagi. Aku tidak
bisa berhenti memikirkan takdirku. Aku menyadari, Heru bukanlah takdirku. Aku tahu
Koko Gun tidak akan pernah menjadi takdirku. Bahkan, aku juga tahu, Sandi-pun
tidak diciptakan untuk takdirku. Tidak satupun diantara mereka yang akan
menjadi pilihan terakhirku. Dan untuk membayangkannya saja aku tidak pernah
punya nyali memiliki mereka dalam hidupku. Dunia terasa gelap, suram dan memudar.
Mimpi-mimpiku semakin pupus tergerus oleh waktu. Aku benar-benar kehilangan
arah, kehilangan keinginan untuk memimpikan bagaimana rasanya menikmati
bahagia. Meredup bagai senja yang mengelam, putus asa dan menyerah pada malam.
Sejak
enam tahun yang lalu, aku berpikir tentang pernikahan. Pernikahan yang akan aku
jalani bersama dengan tunanganku diusiaku ke 27 tahun, laki-laki yang aku
percayai untuk mendampingi dan menua bersamaku. Aku mencintainya setengah mati,
hingga rasanya aku benar-benar ingin mati saja saat nyatanya aku harus
kehilangan dia untuk selamanya. Aku kehilangan harapan, aku hancur dan habis
akal. Seperti pecundang yang tidak layak untuk dicintai. Namun, sesekali aku
mempercayai, bahwa suatu hari nanti aku akan
menjadi seorang istri sekaligus ibu yang paling bahagia didunia ini.
Aku
menghiasi peraduan malamku dengan doa-doa penuh luka yang mengelu. Menyampaikan
banyak kerinduan seakan tidak ada satupun yang bersedia mendengarkanku kecuali
Sang Penciptaku. Aku memohon pelukan Tuhan untuk meneduhkan tangisanku. Aku lemah
dan tak berdaya, bertubi menyampaikan hal-hal yang tak pernah bisa tersampaikan
pada orang yang lain. Aku hanya menyimpannya dalam-dalam dihatiku yang tak
bernyali, karena aku sadar betul hanya Tuhan yang berkenan mendengarkan
ungkapan yang tak bersuara sekalipun.
Bertanya
dalam hatiku, sampai kapan aku berduka berlarut-larut? Aku belum juga bisa
melupakan janji indah yang tersemai antara aku dan Heru. Aku tahu dia telah
berubah, dia tidak lagi orang yang sama yang pernah sangat mencintaiku. Dia kini
telah bersama dengan wanita yang lain dan telah benar-benar menghapus aku dari
memori terdalamnya. Aku menangis tanpa henti. Merasai hati yang terluka, jiwa
yang tertekan tanpa bisa aku kendalikan. Ujian terberat dalam kehilangan adalah
saat aku harus melepaskan dia dari genggamanku dan juga hatiku. Aku yang tak
pernah bisa berhenti satu detikpun mencintainya. Aku tahu terlalu mudah
baginya untuk melupakanku, karena aku tidak pernah bisa mencintainya sebanyak
cinta yang dia berikan kepadaku.
Bertanya
lagi aku dalam hening dan kesepian yang bisu, berdosakah aku jika aku ingin memilih
takdirku sendiri? Aku baru menyadari sakit rasanya diabaikan, dipermainkan oleh
takdir yang memilih menyerah sebelum termiliki. Bahkan pekatnya malam, tidak
pernah sepekat dukaku karena kehilangan untuk kesekian kalinya dalam hidupku. Aku
benar-benar muak dengan diriku dan semua kebodohanku yang masih saja tidak bisa
beranjak karena tertahan di masa lalu, mengangankan diri ini terlelap dalam teduh
pelukannya. Aku bosan karena tidak pernah habis cerita untuk menceritakan
betapa besarnya rasa bahagia yang aku impikan untuk hidup bersamanya. Seakan telah
habis perasaan ini terkikis dan lelah untuk jatuh cinta, lagi.. Aku ingin
mengubur dalam-dalam semua tentang dia dan kenangan masa lalu, dan belajar
untuk membencinya. Namun, membenci bagiku sama sulitnya dengan jatuh cinta.
Sekali
saja dan untuk terakhir kalinya, aku ingin merasai cinta yang sejati, yang
tidak perlu bercampur luka karena tidak diijinkan untuk saling memiliki, melainkan
saling membagi bahagia dan apapun itu untuk bertahan karena cinta. Merasai rasanya
cinta yang hangat setiap harinya hingga raga saling merenta. Seperti bulan yang
setia pada malam, yang tidak pernah menyerah untuk bertahan dan membagi sinarnya,
begitulah aku ingin merasai cinta. Yang sekalipun hujan, tetap dinginnya saja
tidak ingin aku bagi dengannya. Seperti hatiku, aku ingin ia tetap hangat. Karena melihatnya
bahagia bagiku adalah dukungan semesta yang paling sempurna dalam
mencintai. Sekalipun aku diijinkan memilih takdirku sendiri, aku tetap meyakini
bahwa Tuhan, Sang Penciptaku itu paling tahu yang terbaik untukku. Dan aku
harus tetap hidup, tetap menyediakan hati yang baru, tetap menjalani proses
sampai saat yang tepat itu datang dan takdir menemuiku dengan restu-Nya.
Aku,
sesungguhnya tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Aku tahu aku juga boleh
meminta hak yang sama untuk memiliki kawan hidup yang akan melengkapi sisi
kosongku. Hidup memang masih harus tetap berjalan. Sekalipun aku tidak bisa
memiliki masa lalu, tidak lagi raganya menyentuhku, tidak lagi bisa mendengar bisik
cintanya, dan tidak akan lagi memiliki gambar dirinya, aku masih punya
kesempatan untuk menjalani masa depan. Masa lalu bersama kenangannya,
harapanku, Tuhan mengambil ingatanku tentang dia, tentang semua janji-janji
hidup bersama. Melepaskan apa yang telah terlepas dari genggamanku dan berhenti
memintanya kembali.
No comments:
Post a Comment